Di
era kontemporer ini khusunya di Indonesia isu kemiskinan selalau ada, bahakan
kemiskinan suatu negara menjadi tolak ukur kemajuan atau perkembangan suatu
negara. Islam memandangan kemiskinan menjadi dua golongan yaitu golongan fakir
dan golongan miskin. Pada dasarnya kedua golongan ini adalah sama, ini menurut
Abu Yusuf pengikut imam Hanafi dan Ibnu Qasim pengikut imam Malik.[1]
Namun Jumhur ulama mengatakan berbeda, mereka adalah dua golongan namun satu macam.
Sebelum
memasuki solusi dalam pengentas kemiskinan kita perlu membahas apa saja
indikator sesorang dikategorikan miskin menurut Islam. Hal ini berbeda dengan
konsep kapitalis yang mengkategorikan kemiskinan dengan indikator pendapatan
dalam bentuk angka. Pengertian fakir dan miskin itu sendiri adalah[2]
Dari Mujahid, ia berkata, “Orang
fakir adalah orang yang tidak minta-minta. Sedangkan, orang miskin adalah orang
yang minta-minta.”
Dari
Jabir bin Zaid sama dengan maksud hadits diatas. Ia berkata, “Orang fakir
adalah orang yang tidak minta-minta. Sedangkan, orang miskin adalah orang yang
minta-minta.”
Dari
‘Ikramah, ia berkata, “Orang fakir adalah orang yang lemah. Sedangkan, orang
miskin adalah orang yang meminta makanan [3].”
Rasulullah
bersabda, “Tidak termasuk kategori miskin
orang yang tidak mau menerima satu buah kurma, dua buah kurma, satu suapan
makanan, dan suapan makanan. Akan tetapi, orang miskin adalah orang yang bisa
menjaga harga dirinya (’Iffah).” Coba kita baca firman Allah,
“..Meraka tidak meminta secara paksa kepada
orang lain.” (al-Baqarah : 273)
Abu
Ubaid berkata, “Ini adalah letak perbedaan anatara orang miskin dan orang
fakir.”
Maksud
dari hadits Rasulullah “tidak mau
menerima satu buah kurma, dua buah kurma, satu suapan makanan, dan suapan
makanan” adalah orang yang tidak mau menerima pemberian dari orang lain
karena sudah kecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangakan maksud
dari “orang yang bisa menjaga harga
dirinya (’Iffah)” adalah menjaga harga diri dari meminta-minta belas
kasihan orang lain.
Dalam
kemiskinan, Islam juga membagi pengkategorian kemiskinan, yang pada dasarnya
mereka adalah orang yang berhak atas pemberian zakat atau makanan, yaitu:
1.
Al-Faqir
Al-Faqir
adalah
orang yang lemah.yang dimaksud orang lemah adalah orang yang dalam keadaan
tidak bisa produktif atau tidak bekerja karena kondisi fisiknya, misalnya orang
sakit, lanjut usia, orang cacat.
2. Al-Ba’is
Al-Ba’is
adalah orang yang terpaksa berada di dalam kesengsaraan. Maksud dari al-Ba’is adalah sama dengan Al-Faqir. Mereka sama-sama hidup dalam
keadaan lemah tidak bisa mencari nafkah.
3. Al-Qani’
adalah orang yang
berkeinginan atau orang memberikan keyakinan kepada seseorang, lalu dia meminta
kepadanya. Dalam arti lain al-Qani’ adalah orang yang meminta-minta. Mereka
adalah orang yang dalam keadaan kekurangan namun masih sanggup untuk
meminta-minta atau masih bisa mencari nafkah.
4. ‘Al-Mu’tar
Meraka adalah orang
yang suka menyindir, tetapi tidak meminta-minta. Maksud dari menyindir adalah
mereka menampakkan diri dari tetangga mereka atau orang lain bahwa mereka dalam
keadaan miskin. Tetapi, mereka masih sanggup meminta-minta namun enggan
melakukannya.
Umat
Islam yang Lemah Lebih Berhak atas Bantuan dari Harta Umat Muslim Lainya.
Dari
Jisr Abi Ja’fa, dia berkata, “Aku telah menyasikan kitab Umar bin Abdul Aziz
kepada Uday bin Arthah (yang dibacakan keapda kita semasa di Bashrah), ‘Amma
ba’du, .........Lihatlah
pada orang-orang sebelummu dari ahli dzimmah yang telah berusia lanjut, dan
lemah tidak berdaya, mereka diberi santunan oleh kaum muslimin melalui harta
mereka di Baitulmal untuk mencukupi kemaslahatan mereka. Jika seseorang laki-laki dari kaum muslimin yang telah
berusia lanjut dan lemah tidak berdaya, maka ia lebih berhak mendapatkan bantuan
dari harta kaum muslimin. Karena telah disampaikan kepdaku bahwa
Amirul Mukminin Umar pernah melewati seorang syekh dari ahli dzimmah
meminta-minta di setiap pintu rumah kaum muslimin. Dia berkata, ‘Apa yang
membuatmu seperti ini? Sesunggunya kami telah mengambil jizyah darimu sewaktu
kamu muda dan kami telah menghapuskan kewajiban tersebut pada masa usiamu telah
lanjut.’ Kemudian Umar memberikan apa-apa yang dia perlukan dari baiitulmal.”[4]
Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah: 177)
Islam memandang bahwa membantu kemiskinan adalah sebuah bentuk
penyempurnaan keimanan sesuai dengan apa yang Allah firmankan pada surat
Al-Baqarah ayat 177. Bagitu juga dalam kehidupan kewajiban dalam membantu orang
muslim yang lemah dan tidak berdaya adalah kewajiban umat muslim lainnya. Ini
berarti kewenangan dalam membantu umat yang fakir dan miskin bukan hanya
kewajiban pemimpin tetapi setiap umat yang mampu punya kewajiban untuk
membantu.
Islam
juga memberi perhatian kepada umat non muslim yang dalam keadaan lemah. Hal ini
selaras dengan yang dilakukan Rasulullah SAW yang memberi makan kepada orang
yahudi buta dan yang dilakukan Umar memberi apa yang diperlukan orang yahudi
dari baitulmal ketika ada seorang yahudi mengadu kepada Umar dalam keadaan
lemah. Banyak ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits yang menekankan seorang muslim
memberi makan kepada orang miskin, Islam juga memberi penghargaan kepada orang
yang membantu kepada orang miskin dan memberi azhab kepada orang yang tidak mau menunaikan.
Seorang
muslim yang mengingkari dalam menunaikan kewajibanya untuk menunaikan sebagian
hartanya (Zakat) untuk orang fakir dan miskin dihukumi Kafir dan diperangi oleh pemimpin.[5]
Bahkan, sasaran dalam rukun Islam yang ketiga yaitu Zakat diutamakan diberikan
kepada fakir dan miskin. Apa yang dipaparkan diatas Islam sangat memberi
perhatian dan mengatur agar terjadi keseimbangan anatara si kaya dan si miskin.
Fenomena
Kemiskinan Pada Zaman Modern
Kemiskinan
pada saat ini banyak terjadi dikarenakan sistem yang salah dalam mengatur dan persepsi
individualis dalam kehidupan baik dalam tatanan pemerintah dan rakyat. Di
Indonesia kemiskinan bukan menjadi hal yang asing. Dalam mengukur kemiskinan
pun sangat tidak manusiawi yaitu diukur dengan pendapatan bukan pada hakikat
kemiskinan itu sendiri.
Kaum kapitalis
memandang kemiskinan adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan
orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mempergunakan hartanya
atau tidak bertanggung jawab atas orang miskin. Pandangan ini tidak jauh
berbeda pada kaum kapitalis dahulu dengan kaum kapitalis sekarang. Hal ini diperparah dengan sistem perekonomian
yang mengandung neoliberal (mendekati kapitalis).
Sistem-sistem
yang diterapkan dengan sistem kapitalis mengakibatkan orang miskin sulit
mengakses sarana publik, seperti pendidikan, kesehatan, permodalan, hukum, dll.
Kebijakan publik yang diterapkan pun banyak terkonsetrasin pada perekonomian
makro (ekslusif) jarang menyentuh pada perekonomian rakyat (inklusif).
Dalam tatanan
individu kemiskinan juga menjadi peluang bisnis untuk memncari keuntungan dan
untuk menindas. Hal ini dikarenakan orang miskin disudutkan oleh para pengusaha
pada pilihan yang tidak menguntungkan misalnya gaji atau status pekerjaan. Mau tidak
mau orang miskin harus menuruti demi memenuhi kebutuhan. Pendidikan yang rendah
juga mengakibatkan sulit mencari pekerjaan yang mapan.
Sikap
individualis dan matrealis pada masyarakat, kepedulian terhadap orang miskin
sangat rendah. Sifat matrealis juga menjangkit pada pemimpin yang mengakibatkan
mereka buta terhadap rakyatnya sehingga mereka melakukan korupsi. Berbeda
dengan sistem kapitalis ada lagi sistem komunis/sosialis yang meniadakan
kepemilikan individu juga mengakibatkan kemiskinan. Hal ini pada sistem komunis
menganggap bahwa untuk menjadi orang yang kuat haruslah seperti binatang, yang
kuat ialah orang yang mampu bersaing dan menindas. Dengan meniadakan
kepemilikan individu mengakibatkan ketidakseimbangan dalam kehidupan.
Solusi
Dalam Pengentasan Kemiskinan
Islam adalah
agama yang sempurna, kesimbangan kehidupan sangat diatur dalam Islam dan Islam
sangat sempurna dalam mengaturnya. Pengentasan kemiskinan Islam mengatur dari
berbagai tatanan, yaitu tananan pemerintah, peranan masyrakat/kelompok, peranan
keluarga, dan peranan Individu. Solusi Islam dalam pengentasan kemiskinan di
era kontemporer dimana umat Islam berada dalam tatanan Pemerintahan
sekuler/yang tidak bersandarkan pada hukum Allah. Solusi ini berbeda pada zaman
atau situasi masih ditegakkannya hukum Allah.
1. Bekerja
Setiap orang yang hidup
dalam masyarakat Islam, diharuskan bekerja dan diperhatikan berkelana
dipermukaan bumi ini. Serta diperintahkan makan dari rizki Allah. Dalam Allah
Berfirman:
Artinya : "Dialah
yang menjadikan bumi itu rumah bagimu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan
makanlah sebagian rizki-Nya".( QS. Al-Mulk : 15)
Bekerja merupakan suatu
yang utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok untuk mencapai kekayaan, dan
faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia. Dalam tugas ini, Allah telah
memilih manusia untuk mengelola bumi.
Adapun peranan individu
dan pemerintah yang diutamakan adalah memberikan modal untuk mempermudah masyarakat
untuk bekerja, seperti pendidikan layak, pembinaan, penyedian lapangan
pekerjaan, kebijakan-kebijakan yang bisa meningkatkan pekerjaan rakyat. Yang
pada intinya semua adalah mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2.
Mencukupi keluarga atau Tetangga
yang lemah
Sudah menjadi dasar pokok dalam
syari'at Islam, bahwa setiap individu harus harus memerangi kemiskinan dengan
mempergunakan senjatanya, yaitu dengan bekerja dan berusaha. Di balik itu, apa
dosa orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja? Apa dosa para janda yang
ditinggal para suaminya dalam keadaan tidak berharta? Apa dosa anak-anak yang
masih kecil dan orang tuanya yang sudah lanjut usia? Apa dosa orang cacat
selamanya, sakit dan lumpuh? sehingga mereka semua kehilangan pekerjaannya?
Apakah mereka dibiarkan begitu saja karena bencana tengah melanda dan menimpa
mereka, sehingga mereka terlantar dalam kehidupan yang tidak menentu?
Melihat realitas di atas Islam
tidak menutup mata, namun Islam justru mengentaskan mereka dari lembah
kemiskinan dan kemelaratan, serta menghindari mereka dari perbuatan rendah dan
hina, seperti mengemis dan meminta-minta. Pertama-tama konsep yang yang
dikemukakan untuk menanggulangi hal itu adalah adanya jaminan antara anggota
suatu rumpun keluarga, Islam telah menjadikan antara anggota keluarga saling
menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain.
Yang kuat membantu yang lemah, yang kaya mencukupi yang miskin, yang mampu
memperkuat yang tidak mampu, karena itu hubungan yang mengikat mereka. Faktor
kasih sayang, cinta mencintai, dan saling membantu adalah ikatan serumpun
kerabat. Demikinlah sebenarnya hakekat hubungan alami. Hal ini telah didukung
oleh kebenaran syari'at Islam, sebagaimana yang disebutkan dalm QS. Al- Anfal:
75:
Artinya: "Dan anggota
keluarga, sebagiannya lebih berhak terhadap anggota keluarga yang lain, menurut
kitab Allah".
3.
Sedekah
dan Zakat
Pada hakekatnya keduanya adalah sama, namun dalam
penekanannya berbeda. Didalam penyaluran Zakat fakir dan miskin menjadi
proritas utama. Bahkan porsi dalam besaran penyaluran zakat fakir dan miskin
mendapatkan porsi lebih dari 8 asnaf. Orang yang tidak mau menunaikan kewajiban
zakat Islam memberi konsekuinsinya.
Pada zaman sekarang Sedekah dan Zakat dikelola oleh
Lembaga Zakat Infaq dan Sedekah. Namun pengelolaan zakat oleh lembaga ini belum
bisa meningkatkan taraf hidup orang miskin bahkan lebih banyak pada pendidikan.
Zakat menjadi jaminan hidup bagi orang yang tidak produktif lagi untuk bisa
hidup dan jaminan kepada orang dalam kadaan miskin untuk lebih produktif lagi. Dalam
kata lain zakat dan sedekah menjadi dana pensiun bagi orang fakir dan menjadi
modal bagi si miskin.
Sebab itulah, telah turun sejumlah al-qur'an yang agung dan hadits
Rasulullah yang mulia sebagai pembawa berita gembira dan penyampaian ancaman
siksa, pembangkit dan penggerak gairah kerja, pendorong kearah ikhlas,
berjuang, dan berderma serta pencegah sikap-sikap kikir dan bakhil. Sebagaimana
Allah berfirman dalam QS. Al-baqarah (2): 245:
Artinya: "Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah dengan
satu pinjaman yang baik, ia akan mengadakan (pembayaran) itu dengan berlipat
ganda. Sebab, Allahlah yang menyempitkan dan meluakan rizki, dan kepadanyalah
kalian dikendalikan".
4. Waris/Faraidh
Warisan
adalah sebagai jaminan orang tua yang
akan meninggalkan keturunannya atau keluarganya. Orang tua harus meniggalkan
harta atau warisan yang baik, agar kelak bila meninggal kelurga yang
ditinggalkan tidak dalam keadaan fakir atau miskin.
Yang dikehendaki dalam
Islam dengan hukum ini, adalah barang siapa meninggalkan harta, banyak atau
sedikit, sebaiknya harta itu dibagi-bagikan kepada kerabat karibnya. Dan barang
siapa yang tidak mempunyai ahli waris yang mewarisinya, tidaklah seyogyanya hak
itu diberikan kepada anak angkat, namun semua hartanya harus diserahkan kepada
Baitul mal kaum muslimin supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat
Islam.
5. Bertransaksi Halal dan Thoyib
Sekilas
kita memandang ini tidak ada hubungan dengan kemiskinan namun bila kita melihat
dari proses ekonomi ini sangat erat hubunganya dengan harta. Salah satu hal
yang menyebabkan kemiskinan adalah riba, judi, penipuan, menimbun barang, dll.
Yang pada intinya adalah transaksi yang diharamkan oleh Islam mengandung
kedzholiman terhadap orang lain. Misalnya:
1.
Krisis Ekonomi
Pada
krisis global pada abad modern ini yang diakibatkan oleh transaksi riba pada
sektor finansial. Krisis global berdampak pada perekonomian internasional yang
diakibatkan pada besarnya transaksi finansial dibanding transaksi riil.
Dampaknya pun terasa pada rakyat yang tidak melakukan transaksi finansial.
Dampak yang terasa adalah PHK besar-besaran pada perusahaan, harga hasil
pertanian murah, harga barang-barang pokok melonjak tinggi, dll. Mengakibatkan
terjadinya pengangguran dan kemiskinan makin tinggi. Pelaku dari ini adalah
orang-orang yang mempunyai uang banyak dan pemerintah dalam jumlah kecil yang
berdampak pada rakyat yang berjumlah besar.
2.
Inflasi
Penanggulangan
Inflasi dinegara-negara yang menganut kapitalisme ini sangat merugikan rakyat.
Penanggulangan Inflasi di negara kapitalis/neolib menggunakan sistem riba yaitu
dengan cara menaikan suku bunga. Dengan kebijakan menaikan bunga secara
otomatis suku bunga pinjaman naik dan pengusaha akan menaikan harga atau
menekan harga pokok. Ini akan berimbas pada naiknya harga-harga yang ada
dipasaran atau para pemilik uang akan lebih menyukai menabungkan uangnya
daripada berinvesstasi dalam sektor riil.
3.
Penimbunan
Islam
sangat melaknat orang yang melakukan penimbunan barang tanpa dibenarkan secara
syariat. Penimbunan ini akan berimbas pada kelangkaan barang yang mengakibatkan
barang-barang menjadi naik. Hal ini sangat berimbas pada orang-orang yang
berpenghasilan tetap atau sektor usaha. Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan
akan meningkat.
Masih
banyak lagi transaksi-transaksi yang dzolim yang mengakibatkan sesorang semakin
sulit dalam memenuhi kebutuhan, misalnya penipuan dalam pasar, permainan
perdagangan, dll. Maka dari itu Islam mensyariatkan untuk bertransaksi halal
agar terjadi kesempurnaan ekonomi.
Thoyib
disini lebih mengutamakan trasaksi yang membawa manfaat bagi orang lain atau
diri sendiri tanpa merugikan orang lain atau diri sendiri yang diatur syariat.
Transaksi yang haram adalah perbuatan dzolim yang bisa merugikan orang lain
atau bisa mengambil hak orang lain.
6. Ta’wun (tolong menolong)
Islam
mensyariatkan agar sesama tetangga, masyarakat, atau manusia untuk tolong
menolong. Tolong menolong ini banyak bentuknya dalam mengentaskan kemiskinan.
misalnya adalah pertama,tolong menolong dalam pinjam meminjam, Islam
mengharamkan pinjam meminjam untuk keperluan non produktif ada tambahan. Ini
akan meringankan peminjam. Kedua, tolong menolong dalam hal produktif salah
satu contoh adalah saling membantu untuk kebutuhan tenaga kerja dalam pertanian
ata permodalan. Ketiga, tolong menolong dalam mebina masyarakat dalam bentuk
pendidikan, peningkatan ekonomi, penyedian lapangan pekerjaan, dll. Kempat, tolong
menolong kepada orang yang ditimpa musibah seperti sakit.
Dalam
hal ini sangat diperlukan sekali untuk rasa tolong menolong, dikarenakan orang
miskin sulit mengakses permodalan ke perbankan, mahalnya pendidikan, mahalnya
kesehatan, dll.
7.
Larangan Menumpuk Harta atau Investasi dalam
Sektor Riil
Yang
kedua, ialah seyoganya orang tidak mengumpulkan harta yang meskipun di dapatnya
dengan jalan sah, karena akan menghambat perputaran (distribusi) kekayaan dan
merusak keseimbangan serta pembagiannya dikalangan masyarakat. Orang yang
mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya
kedalam penyakit moral saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan besar
terhadap masyarakat banyak, di mana mudharat dan keburukannya akan kembali
menimpa dirinya sendiri juga. Oleh sebab itu Islam memerangi kebathilan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3) : 18 yang artinya
:" sekali-kali jangan lah orang-orang yang bathil dengan harta
yang dikaruniakan allah, mereka menyangka, bahwa kebathilan itu baik bagi
mereka, bahkan kebathilan itu adalah buruk bagi mereka".
Membelanjakan
harta di Jalan Allah Pada sisi lain, Islam menyuruh kepada ummatnya untuk
membelanjakan harta, meski Islam juga melarang untuk bersikap boros. Namun
dengan perintah ini bukan berarti ada legitimasi bagi ummat Islam untuk
membelanjakan harta dengan royal dan boros, apalagi tujuan pengeluaran itu
hanya untuk pemenuhi kepuasan hawa nafsu belaka (hedonisme). Maksud
diperintahkannya membelanjakan harta yaitu membelanjakan harta dengan disertai
syarat fi sabilillah, di jalan allah. Hal ini sesuai dengan QS. Al- baqarah (2)
: 219
Artinya
: "dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka belanjakan ?
katakanlah,
yang
lebih dari keperluan".
Dan
Allah juga berfirman dalam QS. An- Nisa' (4) : 36.
Artinya
: "Sembahlah olehmu akan Allah, janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada keduia ibu bapak, karib kerabat,
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang-orang musafir dan hamba sahayamu".
Ayat-ayat
diatas memberi pelajaran bagi kita, sesungguhnya sangkaan-sangkaan kapitalis
yang mengatakan bahwa apabila ia mengeluarkan hartanya di jalan kebaikan, maka
ia akan jatuh miskin dan apabila dikumpulkan hartanya, maka ia akan menjadi
kaya, sedang Islam berkata :"sesungguhnya Allah memberikan harta seorang
apabila dibelanjakannya dijalan kebajikan dan melipatgandakannya".
Seorang
kapitalis menyangka bahwa semua harta yang dikeluarkan dijalan kebajikan telah
hilang dan tak akan kembali lagi. Namun Islam membantah, bahwa harta yang
dibelanjakan dijalan kebajikan itu tidak akan hilang, dan akan kembali kepada
yang yang memilikinya dengan sejumlah keuntungan yang besar di hari kemudian.
Allah berfirman dalam QS. Fathir : 20-30 :
Artinya
: "Dan mereka membelanjakan hartanya dari rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi, karena allah akan menyempurnakan kepada
mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya".
Dalam
arti kata lainnya adalah menumpuk harta tanpa dibenarkan oleh syariat, bisa
berpotensi krisis. Karena harta tersebut tidak produktif, Islam sangat
menekankan agar harta selalu produktif atau berputar. Hal yang perlu ditempuh
ialah dengan cara Investasi dalam bentuk mudharabah, musyarakah, dll atau
dengan cara pinjaman sosial atau qordlu hasan. Dan masih banyak cara lain yang
ditempuh agar harta tidak menumpuk. Ini akan membuka lapangan kerja baru dan
membuka usaha-usaha baru.
8. Berprilaku Hemat
Islam
memperhatikan dan mengawasi perputaran kekayaan pada seluruh masyarakat, dan
ditentukannya satu bagian dari harta orang-orang kaya untuk diberikan kepada
fakir dan miskin pada satu sisi, dan pada sisi lain diperintahkannya kepada
tiap-tiap individu dalam mengeluarkan hartanya (pembelanjaan), hingga
keseimbangan dalam pembagian kekayaan tidak terganggu karena kelalaian dan
keterlaluan individu-individu dalam mempergunakan kekayaan mereka. Dalam hal
ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al- Furqan :67 yang artinya :"Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) tidak berlebih-lebihan, dan
tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang
demikian".
Dalam
hal ini, Islam tidak menghendaki seyogyanya orang membelanjakan harta kecuali
dalam lingkungan batas-batas kemampuan ekonominya. Tidak dihalalkan baginya
melampaui batas, hingga pengeluarannya lebih besar dari pada pendapatannya,
kemudian ia terpaksa menjadi seorang pengemis dan perampas harta orang lain,
atau berhutang kepada orang lain tanpa ada keperluan yang sesungguhnya kemudian
tidak membayarnya kepadanya, atau menjual semua alat-alat dan perabot rumah
tangga yang dimilikinya untuk membayar hutangnya, dan memasukkan dirinya
kedalam golongan orang fakirmiskin karena perbuatannya sendiri.
Artinya
mengeluarkan atau membelanjakan dalam lingkungan batas-batas kemampuan adalah
jika seseorang mempunyai penghasilan yang besar, ia boleh membelanjakan
semaunya secara boros dan mewah, bersenag-senang dan berfoya-foya sepanjang
hidupnya. Namun karib kerabatnya, teman sejawatnya, dan tetangganya yang ada di
sekelilingnya melewatkan hari-hari sepanjang hidupnya dalam keadaan lapar,
miskin, dan sengsara. Mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh suatu yang
dapat dipergunakan mereka untuk mempertahankan kelanjutan hidup mereka.
Pembelanjaan yang semata-mata didorong oleh seperti dipandang oleh Islam ebagai
suatu tindak melakukan pemborosan.
Disisi
lain untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan, perlu
adanya perencanaan keuangan agar tidak terjerumus pada kemiskinan. Perencanaan
tersebut lebih betitik pada penyisihan uang/harta untuk investasi dan kebutuhan
penting yang bersifat mendadak. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berhemat.
Daftar
Pustaka
§ Al-Qur’an
§ Al
Hadits
§ Yusuf
Qardawi 1973. Fiqihus Zakat atau Hukum Zakat. Lentera Anatar Nusa
§ Abu
A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi
dalam Islam dan Berbagai Sistem masa Kini. Bandung: Al-Ma'arif, 1980,
§ Dr.
Yusuf Qardawi. Teologi Kemiskinan
§ Imam
Abu Ubaid al Qasim (771-818) Al Amwal (Ekslopedia
Keuangan Publik) Penerjemah Setiawan Budi Utomo. Gema Insani
[1] Hasyah Dasuqi, jilid 1, hal, 492; Syarah
al-Azhar, jilid 1 hal 509
[2] Kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid al-Qasim
(774-818 M)
[3] Maksud dari orang yang meminta makanan ialah
orang yang mencari rizki dari bekerja sehingga orang tersebut meminta imbalan
untuk mencari makan
[4] Kitab al-Amwal karya Abu Ubaid’ al-Qosim hal
112 terjemahan.
[5] Fiqihuz Zakat karya Yusuf Qardawi
terjemah hal 87 dan 744
0 komentar:
Posting Komentar