Sabtu, 25 Agustus 2012

PENGENTASAN KEMISKINAN DI ERA KONTEMPORER



Di era kontemporer ini khusunya di Indonesia isu kemiskinan selalau ada, bahakan kemiskinan suatu negara menjadi tolak ukur kemajuan atau perkembangan suatu negara. Islam memandangan kemiskinan menjadi dua golongan yaitu golongan fakir dan golongan miskin. Pada dasarnya kedua golongan ini adalah sama, ini menurut Abu Yusuf pengikut imam Hanafi dan Ibnu Qasim pengikut imam Malik.[1] Namun Jumhur ulama mengatakan berbeda, mereka adalah dua golongan namun satu macam.
Sebelum memasuki solusi dalam pengentas kemiskinan kita perlu membahas apa saja indikator sesorang dikategorikan miskin menurut Islam. Hal ini berbeda dengan konsep kapitalis yang mengkategorikan kemiskinan dengan indikator pendapatan dalam bentuk angka. Pengertian fakir dan miskin itu sendiri adalah[2]

Dari Mujahid, ia berkata, “Orang fakir adalah orang yang tidak minta-minta. Sedangkan, orang miskin adalah orang yang minta-minta.”
Dari Jabir bin Zaid sama dengan maksud hadits diatas. Ia berkata, “Orang fakir adalah orang yang tidak minta-minta. Sedangkan, orang miskin adalah orang yang minta-minta.”

Dari ‘Ikramah, ia berkata, “Orang fakir adalah orang yang lemah. Sedangkan, orang miskin adalah orang yang meminta makanan [3].”

Rasulullah bersabda, “Tidak termasuk kategori miskin orang yang tidak mau menerima satu buah kurma, dua buah kurma, satu suapan makanan, dan suapan makanan. Akan tetapi, orang miskin adalah orang yang bisa menjaga harga dirinya (’Iffah).” Coba kita baca firman Allah,
..Meraka tidak meminta secara paksa kepada orang lain.” (al-Baqarah : 273)
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah letak perbedaan anatara orang miskin dan orang fakir.”
Maksud dari hadits Rasulullah “tidak mau menerima satu buah kurma, dua buah kurma, satu suapan makanan, dan suapan makanan” adalah orang yang tidak mau menerima pemberian dari orang lain karena sudah kecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangakan maksud dari “orang yang bisa menjaga harga dirinya (’Iffah)” adalah menjaga harga diri dari meminta-minta belas kasihan orang lain.
Dalam kemiskinan, Islam juga membagi pengkategorian kemiskinan, yang pada dasarnya mereka adalah orang yang berhak atas pemberian zakat atau makanan, yaitu:
1.    Al-Faqir
Al-Faqir adalah orang yang lemah.yang dimaksud orang lemah adalah orang yang dalam keadaan tidak bisa produktif atau tidak bekerja karena kondisi fisiknya, misalnya orang sakit, lanjut usia, orang cacat.
2.    Al-Ba’is
Al-Ba’is adalah orang yang terpaksa berada di dalam kesengsaraan. Maksud dari al-Ba’is adalah sama dengan Al-Faqir. Mereka sama-sama hidup dalam keadaan lemah tidak bisa mencari nafkah.
3.    Al-Qani’
adalah orang yang berkeinginan atau orang memberikan keyakinan kepada seseorang, lalu dia meminta kepadanya. Dalam arti lain al-Qani’ adalah orang yang meminta-minta. Mereka adalah orang yang dalam keadaan kekurangan namun masih sanggup untuk meminta-minta atau masih bisa mencari nafkah.
4.    ‘Al-Mu’tar
Meraka adalah orang yang suka menyindir, tetapi tidak meminta-minta. Maksud dari menyindir adalah mereka menampakkan diri dari tetangga mereka atau orang lain bahwa mereka dalam keadaan miskin. Tetapi, mereka masih sanggup meminta-minta namun enggan melakukannya.
Umat Islam yang Lemah Lebih Berhak atas Bantuan dari Harta Umat Muslim Lainya.
Dari Jisr Abi Ja’fa, dia berkata, “Aku telah menyasikan kitab Umar bin Abdul Aziz kepada Uday bin Arthah (yang dibacakan keapda kita semasa di Bashrah), ‘Amma ba’du, .........Lihatlah pada orang-orang sebelummu dari ahli dzimmah yang telah berusia lanjut, dan lemah tidak berdaya, mereka diberi santunan oleh kaum muslimin melalui harta mereka di Baitulmal untuk mencukupi kemaslahatan mereka. Jika seseorang laki-laki dari kaum muslimin yang telah berusia lanjut dan lemah tidak berdaya, maka ia lebih berhak mendapatkan bantuan dari harta kaum muslimin. Karena telah disampaikan kepdaku bahwa Amirul Mukminin Umar pernah melewati seorang syekh dari ahli dzimmah meminta-minta di setiap pintu rumah kaum muslimin. Dia berkata, ‘Apa yang membuatmu seperti ini? Sesunggunya kami telah mengambil jizyah darimu sewaktu kamu muda dan kami telah menghapuskan kewajiban tersebut pada masa usiamu telah lanjut.’ Kemudian Umar memberikan apa-apa yang dia perlukan dari baiitulmal.”[4]
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah: 177)
Islam memandang bahwa membantu kemiskinan adalah sebuah bentuk penyempurnaan keimanan sesuai dengan apa yang Allah firmankan pada surat Al-Baqarah ayat 177. Bagitu juga dalam kehidupan kewajiban dalam membantu orang muslim yang lemah dan tidak berdaya adalah kewajiban umat muslim lainnya. Ini berarti kewenangan dalam membantu umat yang fakir dan miskin bukan hanya kewajiban pemimpin tetapi setiap umat yang mampu punya kewajiban untuk membantu.
Islam juga memberi perhatian kepada umat non muslim yang dalam keadaan lemah. Hal ini selaras dengan yang dilakukan Rasulullah SAW yang memberi makan kepada orang yahudi buta dan yang dilakukan Umar memberi apa yang diperlukan orang yahudi dari baitulmal ketika ada seorang yahudi mengadu kepada Umar dalam keadaan lemah. Banyak ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits yang menekankan seorang muslim memberi makan kepada orang miskin, Islam juga memberi penghargaan kepada orang yang membantu kepada orang miskin dan memberi azhab kepada orang yang tidak mau menunaikan.
Seorang muslim yang mengingkari dalam menunaikan kewajibanya untuk menunaikan sebagian hartanya (Zakat) untuk orang fakir dan miskin dihukumi Kafir dan diperangi oleh pemimpin.[5] Bahkan, sasaran dalam rukun Islam yang ketiga yaitu Zakat diutamakan diberikan kepada fakir dan miskin. Apa yang dipaparkan diatas Islam sangat memberi perhatian dan mengatur agar terjadi keseimbangan anatara si kaya dan si miskin.
Fenomena Kemiskinan Pada Zaman Modern
Kemiskinan pada saat ini banyak terjadi dikarenakan sistem yang salah dalam mengatur dan persepsi individualis dalam kehidupan baik dalam tatanan pemerintah dan rakyat. Di Indonesia kemiskinan bukan menjadi hal yang asing. Dalam mengukur kemiskinan pun sangat tidak manusiawi yaitu diukur dengan pendapatan bukan pada hakikat kemiskinan itu sendiri.
Kaum kapitalis memandang kemiskinan adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mempergunakan hartanya atau tidak bertanggung jawab atas orang miskin. Pandangan ini tidak jauh berbeda pada kaum kapitalis dahulu dengan kaum kapitalis sekarang.  Hal ini diperparah dengan sistem perekonomian yang mengandung neoliberal (mendekati kapitalis).
Sistem-sistem yang diterapkan dengan sistem kapitalis mengakibatkan orang miskin sulit mengakses sarana publik, seperti pendidikan, kesehatan, permodalan, hukum, dll. Kebijakan publik yang diterapkan pun banyak terkonsetrasin pada perekonomian makro (ekslusif) jarang menyentuh pada perekonomian rakyat (inklusif).
Dalam tatanan individu kemiskinan juga menjadi peluang bisnis untuk memncari keuntungan dan untuk menindas. Hal ini dikarenakan orang miskin disudutkan oleh para pengusaha pada pilihan yang tidak menguntungkan misalnya gaji atau status pekerjaan. Mau tidak mau orang miskin harus menuruti demi memenuhi kebutuhan. Pendidikan yang rendah juga mengakibatkan sulit mencari pekerjaan yang mapan.
Sikap individualis dan matrealis pada masyarakat, kepedulian terhadap orang miskin sangat rendah. Sifat matrealis juga menjangkit pada pemimpin yang mengakibatkan mereka buta terhadap rakyatnya sehingga mereka melakukan korupsi. Berbeda dengan sistem kapitalis ada lagi sistem komunis/sosialis yang meniadakan kepemilikan individu juga mengakibatkan kemiskinan. Hal ini pada sistem komunis menganggap bahwa untuk menjadi orang yang kuat haruslah seperti binatang, yang kuat ialah orang yang mampu bersaing dan menindas. Dengan meniadakan kepemilikan individu mengakibatkan ketidakseimbangan dalam kehidupan.

Solusi Dalam Pengentasan Kemiskinan
Islam adalah agama yang sempurna, kesimbangan kehidupan sangat diatur dalam Islam dan Islam sangat sempurna dalam mengaturnya. Pengentasan kemiskinan Islam mengatur dari berbagai tatanan, yaitu tananan pemerintah, peranan masyrakat/kelompok, peranan keluarga, dan peranan Individu. Solusi Islam dalam pengentasan kemiskinan di era kontemporer dimana umat Islam berada dalam tatanan Pemerintahan sekuler/yang tidak bersandarkan pada hukum Allah. Solusi ini berbeda pada zaman atau situasi masih ditegakkannya hukum Allah.
1.    Bekerja
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam, diharuskan bekerja dan diperhatikan berkelana dipermukaan bumi ini. Serta diperintahkan makan dari rizki Allah. Dalam Allah Berfirman:
Artinya : "Dialah yang menjadikan bumi itu rumah bagimu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya".( QS. Al-Mulk : 15)
Bekerja merupakan suatu yang utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok untuk mencapai kekayaan, dan faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia. Dalam tugas ini, Allah telah memilih manusia untuk mengelola bumi.
Adapun peranan individu dan pemerintah yang diutamakan adalah memberikan modal untuk mempermudah masyarakat untuk bekerja, seperti pendidikan layak, pembinaan, penyedian lapangan pekerjaan, kebijakan-kebijakan yang bisa meningkatkan pekerjaan rakyat. Yang pada intinya semua adalah mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2.      Mencukupi keluarga atau Tetangga yang lemah
Sudah menjadi dasar pokok dalam syari'at Islam, bahwa setiap individu harus harus memerangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan bekerja dan berusaha. Di balik itu, apa dosa orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja? Apa dosa para janda yang ditinggal para suaminya dalam keadaan tidak berharta? Apa dosa anak-anak yang masih kecil dan orang tuanya yang sudah lanjut usia? Apa dosa orang cacat selamanya, sakit dan lumpuh? sehingga mereka semua kehilangan pekerjaannya? Apakah mereka dibiarkan begitu saja karena bencana tengah melanda dan menimpa mereka, sehingga mereka terlantar dalam kehidupan yang tidak menentu?
Melihat realitas di atas Islam tidak menutup mata, namun Islam justru mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, serta menghindari mereka dari perbuatan rendah dan hina, seperti mengemis dan meminta-minta. Pertama-tama konsep yang yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu adalah adanya jaminan antara anggota suatu rumpun keluarga, Islam telah menjadikan antara anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Yang kuat membantu yang lemah, yang kaya mencukupi yang miskin, yang mampu memperkuat yang tidak mampu, karena itu hubungan yang mengikat mereka. Faktor kasih sayang, cinta mencintai, dan saling membantu adalah ikatan serumpun kerabat. Demikinlah sebenarnya hakekat hubungan alami. Hal ini telah didukung oleh kebenaran syari'at Islam, sebagaimana yang disebutkan dalm QS. Al- Anfal: 75:
Artinya: "Dan anggota keluarga, sebagiannya lebih berhak terhadap anggota keluarga yang lain, menurut kitab Allah".

3.      Sedekah dan Zakat
Pada hakekatnya keduanya adalah sama, namun dalam penekanannya berbeda. Didalam penyaluran Zakat fakir dan miskin menjadi proritas utama. Bahkan porsi dalam besaran penyaluran zakat fakir dan miskin mendapatkan porsi lebih dari 8 asnaf. Orang yang tidak mau menunaikan kewajiban zakat Islam memberi konsekuinsinya.
Pada zaman sekarang Sedekah dan Zakat dikelola oleh Lembaga Zakat Infaq dan Sedekah. Namun pengelolaan zakat oleh lembaga ini belum bisa meningkatkan taraf hidup orang miskin bahkan lebih banyak pada pendidikan. Zakat menjadi jaminan hidup bagi orang yang tidak produktif lagi untuk bisa hidup dan jaminan kepada orang dalam kadaan miskin untuk lebih produktif lagi. Dalam kata lain zakat dan sedekah menjadi dana pensiun bagi orang fakir dan menjadi modal bagi si miskin.
Sebab itulah, telah turun sejumlah al-qur'an yang agung dan hadits Rasulullah yang mulia sebagai pembawa berita gembira dan penyampaian ancaman siksa, pembangkit dan penggerak gairah kerja, pendorong kearah ikhlas, berjuang, dan berderma serta pencegah sikap-sikap kikir dan bakhil. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-baqarah (2): 245:
Artinya: "Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah dengan satu pinjaman yang baik, ia akan mengadakan (pembayaran) itu dengan berlipat ganda. Sebab, Allahlah yang menyempitkan dan meluakan rizki, dan kepadanyalah kalian dikendalikan".

4.      Waris/Faraidh
Warisan adalah sebagai jaminan  orang tua yang akan meninggalkan keturunannya atau keluarganya. Orang tua harus meniggalkan harta atau warisan yang baik, agar kelak bila meninggal kelurga yang ditinggalkan tidak dalam keadaan fakir atau miskin.
Yang dikehendaki dalam Islam dengan hukum ini, adalah barang siapa meninggalkan harta, banyak atau sedikit, sebaiknya harta itu dibagi-bagikan kepada kerabat karibnya. Dan barang siapa yang tidak mempunyai ahli waris yang mewarisinya, tidaklah seyogyanya hak itu diberikan kepada anak angkat, namun semua hartanya harus diserahkan kepada Baitul mal kaum muslimin supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat Islam.
5.      Bertransaksi Halal dan Thoyib
Sekilas kita memandang ini tidak ada hubungan dengan kemiskinan namun bila kita melihat dari proses ekonomi ini sangat erat hubunganya dengan harta. Salah satu hal yang menyebabkan kemiskinan adalah riba, judi, penipuan, menimbun barang, dll. Yang pada intinya adalah transaksi yang diharamkan oleh Islam mengandung kedzholiman terhadap orang lain. Misalnya:
1.      Krisis Ekonomi
Pada krisis global pada abad modern ini yang diakibatkan oleh transaksi riba pada sektor finansial. Krisis global berdampak pada perekonomian internasional yang diakibatkan pada besarnya transaksi finansial dibanding transaksi riil. Dampaknya pun terasa pada rakyat yang tidak melakukan transaksi finansial. Dampak yang terasa adalah PHK besar-besaran pada perusahaan, harga hasil pertanian murah, harga barang-barang pokok melonjak tinggi, dll. Mengakibatkan terjadinya pengangguran dan kemiskinan makin tinggi. Pelaku dari ini adalah orang-orang yang mempunyai uang banyak dan pemerintah dalam jumlah kecil yang berdampak pada rakyat yang berjumlah besar.
2.      Inflasi
Penanggulangan Inflasi dinegara-negara yang menganut kapitalisme ini sangat merugikan rakyat. Penanggulangan Inflasi di negara kapitalis/neolib menggunakan sistem riba yaitu dengan cara menaikan suku bunga. Dengan kebijakan menaikan bunga secara otomatis suku bunga pinjaman naik dan pengusaha akan menaikan harga atau menekan harga pokok. Ini akan berimbas pada naiknya harga-harga yang ada dipasaran atau para pemilik uang akan lebih menyukai menabungkan uangnya daripada berinvesstasi dalam sektor riil.
3.      Penimbunan
Islam sangat melaknat orang yang melakukan penimbunan barang tanpa dibenarkan secara syariat. Penimbunan ini akan berimbas pada kelangkaan barang yang mengakibatkan barang-barang menjadi naik. Hal ini sangat berimbas pada orang-orang yang berpenghasilan tetap atau sektor usaha. Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan akan meningkat.
Masih banyak lagi transaksi-transaksi yang dzolim yang mengakibatkan sesorang semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan, misalnya penipuan dalam pasar, permainan perdagangan, dll. Maka dari itu Islam mensyariatkan untuk bertransaksi halal agar terjadi kesempurnaan ekonomi.
Thoyib disini lebih mengutamakan trasaksi yang membawa manfaat bagi orang lain atau diri sendiri tanpa merugikan orang lain atau diri sendiri yang diatur syariat. Transaksi yang haram adalah perbuatan dzolim yang bisa merugikan orang lain atau bisa mengambil hak orang lain.
6.    Ta’wun (tolong menolong)
Islam mensyariatkan agar sesama tetangga, masyarakat, atau manusia untuk tolong menolong. Tolong menolong ini banyak bentuknya dalam mengentaskan kemiskinan. misalnya adalah pertama,tolong menolong dalam pinjam meminjam, Islam mengharamkan pinjam meminjam untuk keperluan non produktif ada tambahan. Ini akan meringankan peminjam. Kedua, tolong menolong dalam hal produktif salah satu contoh adalah saling membantu untuk kebutuhan tenaga kerja dalam pertanian ata permodalan. Ketiga, tolong menolong dalam mebina masyarakat dalam bentuk pendidikan, peningkatan ekonomi, penyedian lapangan pekerjaan, dll. Kempat, tolong menolong kepada orang yang ditimpa musibah seperti sakit.
Dalam hal ini sangat diperlukan sekali untuk rasa tolong menolong, dikarenakan orang miskin sulit mengakses permodalan ke perbankan, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan, dll.
7.         Larangan Menumpuk Harta atau Investasi dalam Sektor Riil
Yang kedua, ialah seyoganya orang tidak mengumpulkan harta yang meskipun di dapatnya dengan jalan sah, karena akan menghambat perputaran (distribusi) kekayaan dan merusak keseimbangan serta pembagiannya dikalangan masyarakat. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya kedalam penyakit moral saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan besar terhadap masyarakat banyak, di mana mudharat dan keburukannya akan kembali menimpa dirinya sendiri juga. Oleh sebab itu Islam memerangi kebathilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3) : 18 yang artinya :" sekali-kali jangan lah orang-orang yang bathil dengan harta yang dikaruniakan allah, mereka menyangka, bahwa kebathilan itu baik bagi mereka, bahkan kebathilan itu adalah buruk bagi mereka".
Membelanjakan harta di Jalan Allah Pada sisi lain, Islam menyuruh kepada ummatnya untuk membelanjakan harta, meski Islam juga melarang untuk bersikap boros. Namun dengan perintah ini bukan berarti ada legitimasi bagi ummat Islam untuk membelanjakan harta dengan royal dan boros, apalagi tujuan pengeluaran itu hanya untuk pemenuhi kepuasan hawa nafsu belaka (hedonisme). Maksud diperintahkannya membelanjakan harta yaitu membelanjakan harta dengan disertai syarat fi sabilillah, di jalan allah. Hal ini sesuai dengan QS. Al- baqarah (2) : 219
Artinya : "dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka belanjakan ? katakanlah,
yang lebih dari keperluan".
Dan Allah juga berfirman dalam QS. An- Nisa' (4) : 36.
Artinya : "Sembahlah olehmu akan Allah, janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada keduia ibu bapak, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang musafir dan hamba sahayamu".
Ayat-ayat diatas memberi pelajaran bagi kita, sesungguhnya sangkaan-sangkaan kapitalis yang mengatakan bahwa apabila ia mengeluarkan hartanya di jalan kebaikan, maka ia akan jatuh miskin dan apabila dikumpulkan hartanya, maka ia akan menjadi kaya, sedang Islam berkata :"sesungguhnya Allah memberikan harta seorang apabila dibelanjakannya dijalan kebajikan dan melipatgandakannya".
Seorang kapitalis menyangka bahwa semua harta yang dikeluarkan dijalan kebajikan telah hilang dan tak akan kembali lagi. Namun Islam membantah, bahwa harta yang dibelanjakan dijalan kebajikan itu tidak akan hilang, dan akan kembali kepada yang yang memilikinya dengan sejumlah keuntungan yang besar di hari kemudian. Allah berfirman dalam QS. Fathir : 20-30 :
Artinya : "Dan mereka membelanjakan hartanya dari rizki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, karena allah akan menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya".
Dalam arti kata lainnya adalah menumpuk harta tanpa dibenarkan oleh syariat, bisa berpotensi krisis. Karena harta tersebut tidak produktif, Islam sangat menekankan agar harta selalu produktif atau berputar. Hal yang perlu ditempuh ialah dengan cara Investasi dalam bentuk mudharabah, musyarakah, dll atau dengan cara pinjaman sosial atau qordlu hasan. Dan masih banyak cara lain yang ditempuh agar harta tidak menumpuk. Ini akan membuka lapangan kerja baru dan membuka usaha-usaha baru.

8.      Berprilaku Hemat
Islam memperhatikan dan mengawasi perputaran kekayaan pada seluruh masyarakat, dan ditentukannya satu bagian dari harta orang-orang kaya untuk diberikan kepada fakir dan miskin pada satu sisi, dan pada sisi lain diperintahkannya kepada tiap-tiap individu dalam mengeluarkan hartanya (pembelanjaan), hingga keseimbangan dalam pembagian kekayaan tidak terganggu karena kelalaian dan keterlaluan individu-individu dalam mempergunakan kekayaan mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al- Furqan :67 yang artinya :"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang demikian".
Dalam hal ini, Islam tidak menghendaki seyogyanya orang membelanjakan harta kecuali dalam lingkungan batas-batas kemampuan ekonominya. Tidak dihalalkan baginya melampaui batas, hingga pengeluarannya lebih besar dari pada pendapatannya, kemudian ia terpaksa menjadi seorang pengemis dan perampas harta orang lain, atau berhutang kepada orang lain tanpa ada keperluan yang sesungguhnya kemudian tidak membayarnya kepadanya, atau menjual semua alat-alat dan perabot rumah tangga yang dimilikinya untuk membayar hutangnya, dan memasukkan dirinya kedalam golongan orang fakirmiskin karena perbuatannya sendiri.
Artinya mengeluarkan atau membelanjakan dalam lingkungan batas-batas kemampuan adalah jika seseorang mempunyai penghasilan yang besar, ia boleh membelanjakan semaunya secara boros dan mewah, bersenag-senang dan berfoya-foya sepanjang hidupnya. Namun karib kerabatnya, teman sejawatnya, dan tetangganya yang ada di sekelilingnya melewatkan hari-hari sepanjang hidupnya dalam keadaan lapar, miskin, dan sengsara. Mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh suatu yang dapat dipergunakan mereka untuk mempertahankan kelanjutan hidup mereka. Pembelanjaan yang semata-mata didorong oleh seperti dipandang oleh Islam ebagai suatu tindak melakukan pemborosan.
Disisi lain untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan, perlu adanya perencanaan keuangan agar tidak terjerumus pada kemiskinan. Perencanaan tersebut lebih betitik pada penyisihan uang/harta untuk investasi dan kebutuhan penting yang bersifat mendadak. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berhemat.

Daftar Pustaka
§  Al-Qur’an
§  Al Hadits
§  Yusuf Qardawi 1973. Fiqihus Zakat atau Hukum Zakat. Lentera Anatar Nusa
§  Abu A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi dalam Islam dan Berbagai Sistem masa Kini. Bandung: Al-Ma'arif, 1980,
§  Dr. Yusuf Qardawi. Teologi Kemiskinan
§  Imam Abu Ubaid al Qasim (771-818) Al Amwal (Ekslopedia Keuangan Publik) Penerjemah Setiawan Budi Utomo. Gema Insani




[1] Hasyah Dasuqi, jilid 1, hal, 492; Syarah al-Azhar, jilid 1 hal 509
[2] Kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid al-Qasim (774-818 M)
[3]  Maksud dari orang yang meminta makanan ialah orang yang mencari rizki dari bekerja sehingga orang tersebut meminta imbalan untuk mencari makan
[4] Kitab al-Amwal karya Abu Ubaid’ al-Qosim ­hal 112 terjemahan.
[5] Fiqihuz Zakat karya Yusuf Qardawi terjemah hal 87 dan 744

0 komentar:

Posting Komentar