Rabu, 19 September 2012

HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DENGAN ZAKAT



Tanggungjawab Pemerintah dengan Urusan Zakat
ZAKAT, sebagaimana telah jelas bagi kita, adalah kewajiban yang bersifat pasti, telah ditetapkan sebagai “suatu kewajiban dan Allah”. Dikelarkan oleh orang-orang yang mengharapkan ridha Allah Aja Wajala dan balasan kehidupan yang lebih baik di akherat kelak. Tidak dilaksanakan oleh  orang yang lemah keyakinannya terhadap hari kemudian (akherat), dan orang yang sedikit rasa takutnya kepada Allah yang cintaya pada harta, mengalahkan kecintaannya kepada Allah s.w.t.
Kemudian selain daripada itu, bahwa pelaksanaan zakat ini harus diawasi oleh pengusa; dilakukan oleh petugas yang rapi dan teratur dipungut dari orang yang wajib mengeluarkan untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima.
Dalil Qur’an Terhadap Hal itu?
Dalil yang paling jelas dalam masalah ini, bahwa Allah s.w.t telah menyebutkan orang-orang yang bertugas dalam urusan zakat ini baik pengumpulan maupun pembagi zakat – degan nama “amilina alaiha/petugas zakat”. Mereka ini harus diberi bagian dari harta zakat, agar tanggungjawab dan kewajiban dapat dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman:
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah: 60)
Dan tidaklah ada tempat sesudah nash sarih dalam Qur’an ini, untuk meringankanya orang yang eringkan, takwilnya orang yangmetakwil dan keinginannya orang yang menginginkan, dan terutama setlah ayat uu  menjadikan sebagai asnaf zakat dan menetapkannya dengan “kewajiban dari Allah”. Dan siapa yang berani mengingkari suatu ketetapan yang telah ditetapkan Allah?
Allah s.w.t telah berfirman dalam surat yang menerangkan sasaran zakat:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (at-Taubah: 103)
Jumhur ulama Muslimin, dahulu maupun yang sekarang, telah menetapkan bahwa yang dimaksudkan dengan sedekah dalam ayat ini adalah zakat, sebagaimana hal ini telah kita terangkan dalam bab pertama.
Dalil yang paling jelas dalam bab ini, bahwa terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Abu Bakr, berpegang pada ayat ini. Dan ayat ini pun menunjukkan, bahwa yang mengambil zakat itu Nabi s.a.w sendiri, sambil mendo’akan mereka. Tidak terdapat seorang sahabat pun yang menyatakan, bahwa ayat tersebut bukan untuk zakat wajib. Demikian oula sikap ulama-ulama Islam sesudah mereka dalam rangka menolak segala yang subhat itu. Dan sebagimana apa yang mereka nyatakan, bahwa perintah yang terdapat dalam firman Allah s.w.t: “Ambillah olehmu dari harta-harta mereka sedekah, “ maksudnya terhadap Nabi SAW dan kepada setiap orang yang mengurus urusab kaum Musliman sesudahnya, berdasarkan atas apa yang telah kita uraikan sebelunya.
Hadits-hasits Rasulullah
Apa yang diterangkan di atas adalah apa yang terdapat dalam Qur’an. Adapun keterangan yang berasal dari sunah Nabi adalah sebagai berikut:
Dalam hadits shahih Bukhari-Muslim dan yang lain-dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi s.a.w ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berkata:
“Beritahukalah kepada meraka, bahwa Allah s.w.t telah mewajibkankan dari sebagian harta-harta mereka, untuk disedekahkan. Diambil dari orang kaya untuk diberika kepada mereka yang fakir. Apabila mereka mentaatimu dalam hal ini, maka peliharalah akan kedermawanan harta mereka, dan takutlah akan doa orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan Allah s.w.t”
Alasan yang kita dapatkan dari hadits ini adalah ucapan Rasulullah s.a.w tentang sedekah wajib: “Sedekah itu diambil dari orang kaya untuk diberika kepada mereka yang fakir.”
Hadits ini menjelasakan, bahwa urusan zakat itu diambil oleh petugas untuk dibagikan, tidak untuk dikerjakan sendiri oleh orang yang mengeluarka zakat.
Syekh Islam Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini bisa dijadikan alasan, bahwa penguasa adalah orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik ia sendiri secara langsung maupun yang mewakilinya. Maka barangsiapa di antara mereka menolak mengeluarkan zakat, handaknya zakat diambil dari orang itu dengan cara paksa.”[1]
Pendapat ini dikutip oleh Imam Syaukani dengan nashnya dalam Nail al-Authur.[2]
Telah pasti pula bermacam-macam yang menetapkan tugas amilin atas zakat. Terkadang mereka disebut as-sua’at/pekerjaan atau al-musaddaqin/ yang menerima zakat.
Kita telah menerangkan sedikit tentang mereka – sasaran amilin alaiha/petugas zakat, dalam bab yang telah lalu. Sebagaimana pula telah tetap berbagai macam hadits lain dalam menerangkan kewajiban mukallaf atas zakat yang diberikan pada petugas itu. Berikut ini akan saya jelaskan yang paling penting dari hadits-hadits tersebut.
Sunah Amaliah dari Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin
Keterangan ini berdasarkan sunnah kauliah/ucapan Nabi yang diperkuat oleh sunnah amaliah dan fakta sejarah yang berlaku di zaman Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan sesudahnya.
Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish, ketika mentakrij keterangan yang dikemukakan Imam Rafi’, bahwa Rasulullah SAW, dan Khulafaur Rasyidin dan sesudahnya, senantiasa mengutus petugas untuk mengambil  zakat. Ini adalah riwayat yang masyhur.
Dalam hadits sahih Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan seorang laki-laki dari Azad yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai petugas dalam segala urusan zakat. Dalam hadits shahih Bukhari-Muslim pula dari Umar, bahwa ia telah mempekerjakan Ibnu Sa’di untuk menjadi petgas zakat. Dari Abu Dawud, bahwa Nabi SAW telah mengutus Abu Mas’ud sebagai petugas zakat. Dalam musnad Ahmad dikemukakan, bahwa Rasulullah SAW telah mengutus Abu Jahm bin Huzaifah sebagai petugas zakat. Dalam musnad Ahmad pula dikemukakan, bahwa ia telah mengutus Amir Sebagai petugas zakat. Dalam musnad Ahmad dari hadits Qurrah bin Da’mush, bahwa ia telah mengutus Qais bin Sa’ad sebagai petugas zakat. Dalam musnad Ahmad dari hadits Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya untuk mengambil zakat dari orang yang wajib mengeluarkan. Ia pun telah mengutus Wahid bin Uqbah sebagai petugas zakat untuk mengambil zakat Banu Musthalik.
Imam Baihaqi telah meriwayatkan dari Imam Syafi’i, bahwa Abu Bakr dan Umar telah mengutus petugas mengambil zakat. Hadits ini diriwayatkan Imam Syafi’i dari Ibrahim bin Sa’ad az-Zuhri. Ia menambahkan, bahwa mereka tidak pernah mengakhirikan mengambil zakat di setiap tahunya. Berkat Imam Syafi’i dalam kaul kadimnya: “Diriwayatkan dari Umar, bahwa ia mengakhirkan menhambil zakat dalam tahun bencana, kemudian ia mengutus petugas zakat untuk mengambil (zakat tahun itu). Dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad dikemukakan, bahwa Nabi SAW telah mengutus petugas zakat kepada orang Arab pinggiran di bulan Muharram tahun kesembilan. Keterangan ini dalam maghazi Imam Waqidi dengan sanadnya, dalam keadaan ditafsirkan.
Ibnu Sa’ad menerangkan nama-nama petugas zakat iyu dan nama suku-suku yang didatanginya.
Uyayinah bin Hisn diutus ke Banu Tamim. Buraidah bin Hasib diutus ke Banu Aslam dan Banu Ghifar – menurut satu pendapat yang diutus adalah Ka’ab bin Malik. Abbad bin Bisyr Asyhali diutus ke Banu Sulaim dan Banu Muzainah. Rafi’ bin Makis ke Banu Juhainah. Amr bin Ash diutus ke Banu Fazarah. Dhahak bin Sufyan al-Kilabi diutus ke Banu Kilab. Busr bin Sufyan al-Ka’bi diutus ke Banu Ka’ab. Ibnu Lutibah Azdi diutus ke Banu Zibyan. Seorang laki-laki dari Banu Sa’ad Huzaim diutus untuk mengambil sedekah mereka.
Ibnu Sa’ad berkata: “Rasulullah s.a.w telah memerintahkan petugas zakat untuk memaafkan mereka dan memelihara kedermawanan hartanya.”[3]
Ibnu ishaq mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi s.a.w ke daerah dan suku lain di Jazirah Arabia. Muhajir bin Umayyah diuts ke daerah Sana’, kemudian ia mengeluarkan harta yang ada padanya. Zaid bin Labid diutus ke Hadramaut, ‘Adi bin Hatim diutus ke Banu Thay dan Banu Asad. Malik bin Nuwairah diutus untuk mengambil zakat di Banu Hanzalah.
Rasulullah s.a.w sebagimana diungkapkan diatas, membekali mereka dengan nasehat dan ajaran bagi mereka dalam rangka bermuamalah dengan pemilik harta dan senantiasa berwasia, agara mereka memperlihatkan kasih sayang dan memberikan kemudahan kepada mereka para pemilik harta, dengan tanpa meremehkan hak Allah. Sebagaimana pula keadaan petugas itu yang sangat takut sekali dari mendapatkan harta umum dengan tanpa hak, walaupun sedikit, kadang pula di antara mereka ada yang mengawasinya. Sebagaimana yang dinyatakan bahwa Ibnu Latibah, ketika ia mengutus pengawasanya. Berkata Ibnu Qayyim: “Bahwa ini dipercayakan untuk itu. Apabila mereka jelas khianat, maka mereka harus disingkirkan dan diganti oleh orang yang terpercaya.[4]
Ini menunjukkan kepada kita dengan jelas, bahwa sejak zaman Nabi s.a.w, masalah zakat itu adalah urusan dan tugas pemerintah. Atas dasar ini pun Rasulullah s.a.w. memerlukan sekali untuk menugaskan petugas itu mengambil zakat pada setiap kaum dan suku bangsa yang telah masuk Islam; petugas itu mengambil dari orang kaya dan membagikanya kepada mustahiknya. Demikian pula para Khalifah seshudanya. Atas dasar ini para ula berkata: “Wajib bagi si Imam untuk menugaskan petugas yang akan mengambil sedekah, karena Nabi s.a.w dan para Khalifah sesudahnya, senantiasa mengutus petugas zakat ini, karena di antara manusia itu ada yang memiliki harta, akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya; ada pula yang kikit, sehinga wajib baginya mengutus orang yang akan mengambilnya.[5]
Adapun orang yang memiliki harta hendaknya mereka membantu petugas zakat dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan kepada mereka apa yang wajib baginya dan jangan menyembunyikan sedikitpun juga dari harta zakatnya. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w dan ini pula yang diperintahkan oleh para Salafus Sholeh.
Dari Anas Radiallahuanhu, berkata: “Bahwa sesorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: apabila aku membayar zakat pada utusanmu, maka apakah aku terlepas dari kewajiban zakat terhadap Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata: Ya, jika engkau membayar zakat pada utusanku, maka engkau telah bebas dari kewajiban zakat, kepada Allah dan Rasul-Nya, bagimu pahala zakat itu, dan dosanya bagi orang yang mengganti zakat itu.[6]
Fatwa Sahabat
Dari Sahl bin Abu Salih dari ayahnya. Ia berkata: “Telah terkumpul padak nafkah yang telah sampai batas nisab zakat, kemudian aku bertanya pada Sa’ad bin Abu Waqash, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan  Abu Said al-Khudri, bahgaimana jika aku membagikan atau menyerahkan pada penguasa? Mereka semuanya memerintahkan kepadaku untuk menyerahakan zakat pada penguasa, tidak ada seorang pun dari mereka yang berbeda pendapat tetang urusanku itu.” Dalam satu riwayat dikemukakan: “Ak bertanya kepada mereka: “Apakah pengusa itu melakukan sesuai dengan apa yang kalian ketahui? (Ini terjadani pada Banu Umayyah), sehingga aku menyerahkan zakatku kepada mereka?” mereka semuanya menjawab: “Ya, serahkan zakat itu pada mereka.”
Riwayat ini dikemukakan oleh Imam Said bin Mansur dakan musnadnya.[7]
Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhai keduanya. ia berkata: “Serahkanlah sedekah kamu sekalian pada orang yang dijadikan Allah sebagai penguasa urusan kamu sekalian. Barangsiapa yang berbuat baik, maka akan bermanfaat buat dirinya dan barangsiapa yang berbuat dosa maka akan madharat bagi dirinya.” Dari Qaj’ah, budak yang dimerdekakan Zaid, sesungguhnya Ibnu Umar berkata: “Serahkanlah zakat kamu sekalian pada penguasa, walaupun dengan itu mereka mempergunakannya untuk minum khamar.” Berkata Imam Nawawi: “Keduanya diriwayatkan oleh imam Baihaqi dengan sanad sahih atau hasan.[8]
Dari Mughirah bin Syu’bah. Ia berkata kepada budak yang dimerdekakanya yang mengurus hartanya di Thaif: “Apa yang kau lakukan terhadap sedekah hartaku?” ia menjawab: “Sebagian lagi aku serahkan pada penguasa.” Mughirah berkata: “Atas dasar apa hal itu kamu lakukan?” (Mughirah membencinya, karena ia telah menyerahkan zakat itu secara langsung oleh dirinya sendirinya). Ia menjawab: “Para penguasa itu mempergunakan harta zakat itu untuk membeli tanah dan mengawini wanita.” Mughirah menjawab: “Serahkanlah harta itu kepada penguasa. Sesunguhnya Rasulullah s.a.w telah menyuruh kita untuk menyerhakna zakat pada mereka.” Diriwaayatkan oleh Imam Daihaki dalam as-Sunan al-Kabir.[9]
Hadits-hadits yang tegas ini semuanya berasl dari Rasulullah s.a.w; dan fatwa-fatwa yang tepat ini berasal dari para sahabat yang mulia. Semuanya menjadikan kita mengetahui, bahkan meyakini bahwa yang pokok dalam pendangan syariat Islam, zakat itu diurus oleh pemerintah yang Muslim; ia mengambilnya dari orang yang wajib mengeluarkan dan membagikan pada orang yang berhak menerima, dan masyarakat berkewajiban untuk membantu para penguasa dalam urusan ini, sebagi pengakuan akan keharusan adanya keteraturan, memperkokoh bangunan Islam dan memperkuat baitul mal kaum Muslimin.
Rahasia Adanya Peraturan Ini
Terkadag ada orang yang berkata: “Agama-agama itu senantiasa membina nurani dan meghidupakan kalbu dan menciptakan perumpamaan-perumpamaan yang tinggi nilainya dalam pandangan manusia, kemudian menuntun mereka dengan pengekangan terhadap segala keinginan kepada taubat kepada Allah; atau mengiringi mereka dengan cemeti ketakuan dan siksa Allah, membiarkan para penguasa membuat batasan-batasan, peraturan-peraturan, memrintah dan menyiksa.”
Ini semasa termasuk kegiatan politik dan bukan termasuk sikap beragama.
Dan jawabanya, bahwa hal yang demikian itu hanya tepat bagi agama selain Islam, sedangkan untuk agama Islam, hal itu adalah tidak samasekali, karena Islam meliputi akidah dan sistem, akhlak dan undang-undang Qur’an dan kekuasaan. Dalam pandangan Islam manusia itu tidaklah terpisah: kepingan yang satu untuk agamanya dan kepingan lain untuk dunianya. Dan demikian pula kehidupan itu tidak dipecah-pecah: sebagaian untuk kaisar dan sebagaian lagi untuk Allah. Sesungguhnya kehidupan dan segala aspeknya, manusia serta seluruh alam semesta ini, hanyalah semata untuk Allah Zat yang Tunggal dan Maha Perkasa dan Maha Pemaksa. Islam telah datang membawa risalah yang mencakup dan memberi petunjuk. Selain itu tujuannya adalah membebasakan pribadi manusia dan memuliakannya; mengangkat derajat masyarakat dan membahagiakanya; memngarahkan masyarakat dan pemerintah atas hak dan kebajikan; mengajak seluruh umat manusia pada Allah, agar supaya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun juga dan tidak menjadikan sebagian di antara mereka tuhan-tuhan selain Allah.
Sehubungan dengan hal ini, datanglah aturn zakat. Ia tidak dijadikan sebgai urusan pribadi, akan tetapi merupakan tugas pemerintah Islam. Islam mewakili penugusan menarik zakat, membagikannya pada musthiknya. Hal itu dilakukan, oleh karena bebbagai faktor:
Pertama, sesungguhnya kebanyakan manusia telah mati hatinya atau terkena penyakit dsan kelemahan/kurus kering. Untuk itu ada jaminan bagi si fakir dan haknya tidak diabaikan begitu saja.
Kedua, si fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi orang kaya, untuk memelihara kehormatan dan air mukanya dari persaan belas kasih oleh sebab meminta, serta memelihara perasaan dan tidak elukai hatitnya dar gunjiangan dan kata-kata yang menyakitkan.
Ketiga, dengan tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi berarti menjadikan urusan pembagian zakat sama besarnya. Sebab terkadang banyak si kaya yang memberikan zkat pada seorang fakir saja, sementara fakir yang lain terlupakan. Tidak ada seorang pun yang mengerti keadaannya, padahal terkadang keadaannya lebih membutuhkannya.
Keempat, sesungguhnya zakat itu bukanlah hanya diberikan pada pribadi fakir, miskin dan ibnu sabil saja, akan tetapi ada di antara sasaranya yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum muslimin bersama, yang tidak bisa dilakukan oleh perorangan, akan tetapi oelh dan lembaga Musyawarah Jama’ah kaum Muslimin, seperti memberi zakat pada golongan muallaf, mempersiapakan perlengkapan dan orang-orang untuk jihad fisabilillah serta mempersiapan para da’i untuk menyampaikan risalah Islam.
Kelima, sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan, Qur’an dan kekuasaan. Untuk tegaknya kekuasaan dan pemerintahan ini dibutuhkan harta, yang dengan itu pula dilaksanakannya syariatnya. Terhadap harta ini dibutuhkan adanya penghasilan. Dan zakat penghasilan yang penting dan tetap untuk kas negara dalam ajaran Islam.[10]


[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar, jilid 3, hal 23 ketika mensyarah hadits wasiat Mu’adz dari hadits shahih Bukhari: Kitab Zakat. Bab mengambil sedekah dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir, dimana mereka berada.
[2] Nail al-Authur, jilid 4, hal 124 cet. Kedu Musthafa al-Halabi,
[3] Thabaqat Ibnu Sa’ad, Jilid 2, hal 160, cet Beirut.
[4] Zaad al-Ma’ad
[5] Al-Majmu’, jilid 6 hal 167; ar-Raudhah, jilid 2, hal 210
[6] Ia menisbatkan dalam al-Muntaqa pada Imam Ahmad, Nail al-Authar
[7] Sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi dalam al-Majmu’
[8] Hadits dan atsar, ini semuanya dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’, jilid 6 hal 162-4
[9] Ibid
[10] Diambil dari buku Yusu Qardawi: Masalah kefakiran dan bagaimana menganggulanginya menurut islam, hal 94-5

0 komentar:

Posting Komentar