Selasa, 18 September 2012

PEMBAGIAN ZAKAT DI NEGERINYA SENDIRI, MEMBAWANYA NEGERI LAINNYA, DAN SIAPAKAH ORANG YANG LEBIH UTAMA SEBAGAI PENERIMA ZAKAT TERSEBUT?


 Diringkas [1]
Dari Ibrahim, ia berkata, ”Zakat harta dibagikan kepada orang yang bertempat tinggal di dekat air. Apabila tidak ditemukan orang yang berhak menerima zakat yang berdekatan dengan air, maka lihatlah kepada orang yang lebih dekat dengan air. Lalu bagikanlah zakat kepada mereka. Apabila tidak ditemukan orang yang tinggal dekat dengan air, maka serahkanlah kepada orang yang lebih dekat dengannya dan begitu sebaliknya.”
Umar bin Abdul Aziz telah mengirimkan kepada para amil zakatnya, yang isinya adalah, ”Serahkanlah separuh zakat harta itu (Abu Ubaid berkata, “Maksudny adalag serahkanlah dan berikanlah kepada para “Mustahak-nya.”) dan kirimkanlah separuh dari zakat itu kepadaku.” Kemudian dia mengirimkan surat lagi paa tahun berikutnya kepada petugas zakat, “Serahkanlah seluruh zakat harta itu kepada para mustahak-nya.”
Dari Ibrahim bahwa dia telah memakruhkan memindahkan zakat dari sebuah negeri ke negeri lainnya, kecuali dibagikan kepada keluarga kerabatnya.
Serupa dengan hadits di atas dengan sanad berikut: ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Yazid, dari al-Mubarak bin Fadhalah, dari Hasan.”
Dari Farqad as-Sabakhi, ia berkata, ia berkata, “Saya pernah membawa zakat hartaku dengan tujuan aku akan membagikannya di Mekkah. Lalu aku berjumpa dengan Sa’id bin Jubair dan ia berkata, ‘Kembalikanlah zakat hartamu itu dan bagikanlah di negerimu saja.”
Dari Sufyan bin Sa’id bahwa zakat harta pernah dibawa dari ar-Ray ke Kufah. Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengembalikannya lagi ke negeri ar-Ray.
Dari an-Nu’man bin Zubair, ia berkata, “Muhammad bin Yusuf pernah melantik Thawus sebagai petugas zakat di daerah Mikhlaf. Dia telah mengambil zakat dari orang-orang kaya dan kemudian dia menyerahkan kepada orang-orang fakir setempat. Setelah Thawus menyelesaikan tugasnya, maka Muhammad berkata kepada Thawus, ‘Perlihatkanlah hitungan hartamu. ‘Thawus menjawab, ‘Saya tidak mempunyai hitungan harta. Saya hanya bertugas memungut harta dari orang kaya, lalu saya memberikannya kembali kepada orang miskin.”
Dari Umar, dia pernah berkata di dalam wasiatnya, “Saya mewasiatkan kepada Khalifah setelahku seperti ini. Saya mewasiatkan kepada Khalifah setelahku seperti ini. Dan, saya mewasiatkan kepada Khalifah sesudahku supaya bersikap baik kepada para bangsa Arab Badui. Sebab, mereka adalah asal mula bangsa Arab dan kunsi utama Islam bahwa tetap dipungut zakat harta orang kaya di antara orang kaya di antara mereka dan kemudian diserahkan kembali kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
Abu Ubaid berkata, “Sandaran utama di dalam berbagai hadits diatas adalah berdasarkan keterangan Sunnah Rasulullah ketika beliau memberikan wasiat kepada Mu’adz. Yaitu, ketika beliau mengutus Mu’adz supaya berangkat ke negeri Yaman, kemudian mengajak mereka agar masuk Islam dan menunakan ibadah shalat. Rasulullah bersabda, ‘Apabila mereka menerima tawaranmu itu, maka sampaikanlah atas hartamu, mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas hartamu, yang mana ia dipungut dari orang-orang kaya diantara kalian dan kemudian ia diserahkan kepada orang-orang fakir di antara kalian.”
Serupa dengan Hadits diatas:
(((Arab)))
Dari Abu Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata, “Saya pernah mendengar Abu Ja’far Muhammad bin Ali bercerita bahwa Ali pernah berkata, ‘Sesungguhnya telah Allah mewajibkan orang-orang kaya suapaya memberikan harta mereka yang dapat mencukupi orang-orang fakir. Apabila mereka lapar, atau tidak berpakaian, atau sengsara, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan orang-orang kaya. Allah berhak menghisab dan menyiksa mereka.’”
Abu Ubaid berkata, “Para ulama zaman sekarang telah berijma dan sepakat menggunakan atsar-atsar  ini bahwa setiap penduduk negeri atau penghuni pinggiran sungai, maka mereka lebih berhak menerima zakat harta orang kaya diantara mereka. Selama masih ada di antara mereka orang-orang yang memerlukan seperti di dalam asnaf yang delapan, walaupun hanya satu ashnaf saja, apalagi lebih dari dua ashnaf. Walaupun pembagian zakat harta tersebut hanya diterima oleh satu orang saja, sehingga apabila petugas zakat pulang, maka dia tidak membawa apa-apa dari hasil pungutan zakatnya.”
Keterangan ini telah diperkuat lagi dengan beberapa hadits sebagai penafsirannya.
Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Jallad emberitahukan kepadaku bahwa ‘Amru bin Syu’aib telah memberitahukan kepadanya bahwa Mu’adz bin Jabl masih tetap berdomisili di al-Jindi.[2] Tiba-tiba Rasulullah dan Abu Bakar wafat. Kemudian Mu’adz datang ke Madinah pada zaman pemerintahan Umar. Lalu Umar mengembalikannya lagi tugas Mu’adz ke semula di Yaman.
Lalu Mu’adz mengirimkan sepertiga harta masyarakat Yaman kepadanya. Kemudian Umar mengingkari yang demikian itu dan berkata, ‘Saya tidak mengutusmu sebagai pengumpul zakat dan jizyah. Akan tetapi, saya mengutusmu supaya engkau mengambil zakat harta orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian menyerahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka.’ Mu’adz berkata, ‘Saya tidak mengirimkan sesuatu kepadamu. Akan tetapi, aku menemukan seseorang yang mengambil bagian zakat dan kemudian menyerahkan kepadamu.’
Tatkala pada tahun kedua, Mu’adz mengirimkan lagi setengah harta zakat yang telah diambilnya, lalu kedua sahabt itu saling menuding dan akhirnya Umar mengembalikan zakat yang telah dikirimkan kepadanya. Tatkala pada tahun ketiga, maka Mu’adz mengirimkan lagi bagian zakat secara keseluruhan. Akan tetapi, zakat itu tetap Umar kembalikan lagi ke yaman, seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Lalu Mu’adz berkata, ‘Saya tidak pernah menjumpai seseorang pun yang mengambil bagian zakatnya kepadaku.’”
Dari Sa’id ibnul Musayyab bahwa Umar telah mengutus Mu’adz sebagai pengumpul zakat atas bani Kilab atau bani Sa’ad bin Dzubyan. Lalu Mu’adz membagikan zakat tersebut di kalangan orang-orang fakir di antara mereka sampai tidak tersisa sedikitpun, sehingga dia pulang hanya membawa alas pelana tunggangannya. Maka istrinya berkata, “Manakah hasil pengumpulan zakat yang telah engkau pungut dari mereka, dan manakah hadiah musafirnya?” dia menjawab, “Saya hanya bersama Allah.” Istrinya berkata lagi, “Sebelumnya engkau adalah orang yang terpercaya di sisi Rasulullah dan di sisi Abu Bakar. Apakah Umar hanya mengutusmu sebagai pengawas (Dhaghithan)?”
Lalu Istrinya berdiri dan keluar dari jamaah wanita pada saat itu, dan dia juga mengajukan keluhan kepada Umar. Dan, Umar pun menerima keluhan itu. Kemudian Umar memanggil Mu’adz dan berkata, “Apakah saya mengutusmu hanya sebagai teman Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya tidak mempunyai alasan lain kepada istriku itu melainkan kata-kata yang telah aku kemukakan kepadanya.” Lalu Umar tertawa, dan dia memberikan Mu’adz hadiah. Umar berkata, “Senangkanlah istrimu dengan hadiah ini.:
Ibnu Juraij berkata, “Menurut saya, maksud perkataan Mu’adz,’Dhaghthan,’ adalah oleh tuhannya.”
HUKUM MEMBAWA ZAKAT KELUAR DARI NEGERINYA
Dari Shihab bin Abdullah al-Khaulani, ia berkata, “Sa’ad berangkat ke Madinah sehingga menjumpai Umar. Dia adalah salah seorang sahabat dari Ya’la bin Umayyah. Umar berkata, ‘Engkau hendak pergi kemana?’ sa’ad menjawab, “Saya ingin berijtihad.’ Umar berkata, ‘Pulang sajalah engakau. Sebab, melakukan suatu kebenaran juga dinamakan Ijtihad yang baik.’ Tatkala Sa’ad akan pulang kedaerahnya, maka Umar berkata, ‘Apabila engkau melewati orang yang memilki harta, maka janganlah engkau melpakan kebaikan itu. Bagikanlah harta itu kepada tiga golongan. Kemudian pemilik harta itu disuruh mengambil 1/3-nya. Setelah ia mengambil 1/3 itu, maka sisanya serahkanlah kepada golongan ini dan golongan itu. ‘maksud dari golongan ini dan itu adalah sebagimana yang telah digmbarkan oleh Umar kepada Sa’ad. Sa’ad berkata, ‘Kami berangkat dan pergi bertujuan untuk memungut zakat, maka kami tidak akan pulang, kecuali dengan cambuk-cambuk kami.”
Abu Ubaid berkata, “Seluruh hadits yang telah disebutkan diatas telah menegaskan bahwa setiap masyarakat lebih berhak menerima zakat harta mereka sendiri sehingga mereka sampai kepada tahap tidak memerlukan lagi. Kami melihat memang mereka lebih berhak menerima zakat harta itu, bukan kepada masyarakat yang berada di kawasan lainnya. Akan tetapi, sunnah telah menerangkan mengenai kehormatan dan etika bertetangga dan juga kedekatan rumah orang yang berhak dan orang yang kaya raya.”
Apabila pengumpul zakat tidak mengetahui, lalu ia membawa zakat dari suatu negeri ke negeri lainnya, padahal negeri itu masih memiliki banyak penduduk yang fakir, maka pemimpin harus mengembalikan zakat harta itu ke negeri asal harta tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah difatwakan Sa’id bin Jubair.
Akan tetapi, Ibrahim dan Hasan telah memberikan keringanan kepada seseorang yang ingin meyerahkan harta zakatnya kepada kaum kerabatnya, walaupun ia tinggal di negeri yang berbeda dengan kaum kerabatnya itu. Ini hanya diperbolehkan pada zakat harta milik pribadi saja. Adapun zakat milik orang banyak yang telah dipegang oleh pemimpin, maka tidak boleh diserhkan kepada daerah lain, walaupun di sana ada kerabatnya.
Sama dengan perkataan Ibrahi dan Hasan adalah hadits Abul ‘Aliyah.
Dari Abul ‘Aliyah, dia telah membawa zakat hartanya ke Madinah.
Abu Ubaid berkata, “Kami melihat bahwa tindakan Abul ‘Aliyah tersebut dikhususkan kepada kaum kerabatnya dan para mawali-nya saja.”
Apabila pemimpin tidak mengetahui kebutuhan penerima zakat sehingga ia membagikannya kepada orang uang berada di daerah lain atau menyuruh melakukan kebijakan yang demikian itu para petugas zakatnya, lalu dia mengetahui bahwa di daerahnya tersebut masih banyak orang fakir, maka telah diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab bahwa pemimpin harus melipatgandakan pemberian zakat harta pada tahun berikutnya.
Dari Abul Aswad bin Abdulrahman, dia pernah mendengarkan Umair bin Salamah ad-Du’ali yang menceritakan bahwa ia pernah pergi bersama Umar ibnul Khaththab. Atau, Umar Ibnul Khaththab telah memberitahukan kepada Umair mengenai orang-orang yang bersama Umar. Walaupun Umair adalah seorang yag telah tua, ia berkata, “Ketika kami bersama-sama Umar di suatu siang, kami tidur siang dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang wanita Arab Badui menghampiri para sahabat. Wanita itu pun mendekati Umar seraya berkata, “Sebenarnya saya adalah seorang wanita yang miskin sedangkan saya mempunyai banyak anak lelaki. Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab telah megutus Muhammad bin Maslamah untuk bertugas sebagai pengumpul zakat. Akan tetapi, dia tidak memberikan bagian zakat kepada kami. Barangkali engkau dapat memberikan bantuan kepada kami membicarakan permasalahan yang kami hadapi kepada Umar. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadamu.’
Lalu Umar berteriak memanggil Yarfa’, ‘Panggilkanlah Muhammad bin Maslamah supaya menghadap kepadaku!’ Wanita itu berkata, “Sebenarnya jika engkau melaksanakan permohonanku ini, niscaya lebih baik demi menutupi keperluanku ini dibanding harus mendatangkan Muhammad bin Maslamah.’ Umar berkata, ‘Dia akan mengabulkan perminatanmu itu, Insya Allah.’ Lalu Yarfa’ menjumpai Muhammad bin Maslamah seraya berkata, “Umar telah memintamu untk segera menghadapnya.’
Muhammad bin Maslamah mendatangi Umar seraya berkata, ‘Salam sejahtera kepadamu, wahai Amirul Mukminin.’ Wanita yang mengeluh kepada Umar pun jadi malu. Umar berkata, ‘Demi Allah, tidak ada gunanya aku memilih orang terbaik di antara kalian. Bagaimana engkau akan menjawab apabila Allah menanyakan tentang nasib wanita ini?’ Lalu kadua mata Muhammad bin Maslamah meneteskan air matanya. Kemudian Umar berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi-Nya saw. kepada kita. Lalu kita membenarkanya dan mengikutinya. Setelah itu beliau pun mengaplikasikannya perintah Allah yang telah diperintahkan kepadanya. Kemudian beliau memberikan zakat kepada orang-orang yang berhak dari kalangan orang miskin. Sehingga, Allah mencabut nyawa beliau saw. saat beliau masih melaksanakan hal itu. Lalu Allah menggantikan kedudukan Rasulullah dengan Abu Bakar. Dia juga telah mengaplikaskan sunnah-sunnah Rasul sampai Allah mewafatkan dalam dia masih melaksanakan hal itu. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku menggantikan kedudukan Abu Bakar. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku memilih yang terbaik diantara kalian. Jika aku mengutusmu lagi, maka berikanlah kepadanya bagian zakat pada tahun ini dan tahun sebelumnya. Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan mengutusmu lagi.’
Kemudian Umar memberikan kepada wanita itu 1 ekor unta, gandum, dan minyak. Umar berkata, ‘Ambillah ini, sehingga engkau mendatangi kami di Khaibar. Sebab, kami ingin melihat unta ini.;
Lalu wanita itu pun mendatangi Umar tatkala di Khaibar, dan dia memberikan 2 ekor unta lagi kepada wanita itu. Umar berkata, ‘Ambillah pemberian ini, maka ini akan cukup sebagai bekalmu sehingga kedatangan Muhammad bin Maslamah nanti. Sebab, aku telah memerintahkan supaya pemberian hakmu pada tahun ini dan tahun sebelumnya.’”
Dari Yahya bin Sa’id, sama dengan isi hadits di atas. Namun dengan riwayat berbeda.
Abu Ubaid berkata, “Di samping hadits-hadits di atas juga telah didapati hadits-hadits lain yang menunjukkan adanya keringanan membawa zakat harta dari sebuah negeri ke neger yang lainnya. Yaitu seperti hadits Rasulullah ketika beliau berkata kepada Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang pembayarat diyat. Menetaplah engkau disini sehingga datang zakat harta. Setelah datangnya zakat harta nanti adakalanya kami hanya memberikan bantuan keringanan kepadamu, atau adakalanya juga kami akan membayar seluruh hutang bayaran diyat uang telah menjadi tanggung jawabmu.’ Dengan demikian, Rasulullah telah memberikan zakat harta Hijaz kepada Qubaishah, Rasululllah telah sendiri adalah penduduk Nijid. Dalam hadits diatas jelaslah bahwa beliau saw. telah membolehkan zakat penduduk Nijid kepada penduduk Hijaz dan begitu pula sebaliknya.”
Demikian juga hadits ‘Adi bin Hatim, ketika dia membawa zakat harta kaumnya kepada Ibnu Abu Dzubab. Umar telah mengutusnya setelah musim paceklik dan berkata, “Ambilah dua pembayaran zakat pada unta. Satu diantaranya dibagikan di kalangan mereka, sementara yang lainnya bawalah kepadaku.”
Demikian hadits Mu’adz, ketika dia berkata kepada penduduk Yaman dan pakaian yang biasa digunakan dalam sehari-hari, sebab aku memungut yang demikian itu darimu sebagai pengganti bayaran zakat. Sebab, yang demikian itu lebih memudahkan kepadamu dan lebih bermanfaat kepada orang-orang Muhajirin di Madinah.”
Abu Ubaid berkata, “Sebenarnya, pengganti bayaran zakat ini tidak diperbolehkan, terkecuali barang tersebut sudah tidak diperlukan lagi dan mereka sudah tidak membutuhkan untuk mengkomsumsinya, seperti yang telah kami sebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar dan Mu’adz.”
Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah,
“Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa ang diperlukan)....’” (al-Baqarah: 219)
Ibnu Abbas berkata, “Maksud dari ayat diatas adalah yang lebih dari kebutuhan setelah mendapatkan kekayaan.”


[1] Kitab Al-Amwal atau Eklopedia Keuangan Publik Karya Abu ‘Ubaid al-Qasim, bab Jenis Harta yang Dikelola Oleh Pemimpin Berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, hal terjemahan 715-723
[2] Al-Jindi adalah sebuah perkotaan di Yaman. Dan, juga terdapat satu wilayah yang masih menggunkan nama seperti ini hingga sekarang. Di Yaman terdapat tiga wilayah besar, yaitu al-jindi, Shana’a, dan Hadramaut.

0 komentar:

Posting Komentar