Diringkas [1]
Dari Ibrahim, ia berkata, ”Zakat harta dibagikan kepada orang yang
bertempat tinggal di dekat air. Apabila tidak ditemukan orang yang berhak
menerima zakat yang berdekatan dengan air, maka lihatlah kepada orang yang
lebih dekat dengan air. Lalu bagikanlah zakat kepada mereka. Apabila tidak
ditemukan orang yang tinggal dekat dengan air, maka serahkanlah kepada orang
yang lebih dekat dengannya dan begitu sebaliknya.”
Umar bin Abdul Aziz telah
mengirimkan kepada para amil zakatnya,
yang isinya adalah, ”Serahkanlah separuh zakat harta itu (Abu Ubaid berkata,
“Maksudny adalag serahkanlah dan berikanlah kepada para “Mustahak-nya.”) dan kirimkanlah separuh dari zakat itu kepadaku.”
Kemudian dia mengirimkan surat lagi paa tahun berikutnya kepada petugas zakat,
“Serahkanlah seluruh zakat harta itu kepada para mustahak-nya.”
Dari Ibrahim bahwa dia telah memakruhkan memindahkan zakat dari sebuah
negeri ke negeri lainnya, kecuali dibagikan kepada keluarga kerabatnya.
Serupa dengan hadits di atas
dengan sanad berikut: ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Yazid, dari
al-Mubarak bin Fadhalah, dari Hasan.”
Dari Farqad as-Sabakhi, ia berkata, ia berkata, “Saya pernah membawa
zakat hartaku dengan tujuan aku akan membagikannya di Mekkah. Lalu aku berjumpa
dengan Sa’id bin Jubair dan ia berkata, ‘Kembalikanlah zakat hartamu itu dan
bagikanlah di negerimu saja.”
Dari Sufyan bin Sa’id bahwa zakat harta pernah dibawa dari ar-Ray ke
Kufah. Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengembalikannya lagi ke negeri ar-Ray.
Dari an-Nu’man bin Zubair, ia
berkata, “Muhammad bin Yusuf pernah melantik Thawus sebagai petugas zakat di
daerah Mikhlaf. Dia telah mengambil zakat dari orang-orang kaya dan kemudian
dia menyerahkan kepada orang-orang fakir setempat. Setelah Thawus menyelesaikan
tugasnya, maka Muhammad berkata kepada Thawus, ‘Perlihatkanlah hitungan
hartamu. ‘Thawus menjawab, ‘Saya tidak mempunyai hitungan harta. Saya hanya
bertugas memungut harta dari orang kaya, lalu saya memberikannya kembali kepada
orang miskin.”
Dari Umar, dia pernah berkata di dalam wasiatnya, “Saya mewasiatkan
kepada Khalifah setelahku seperti ini. Saya mewasiatkan kepada Khalifah
setelahku seperti ini. Dan, saya mewasiatkan kepada Khalifah sesudahku supaya
bersikap baik kepada para bangsa Arab Badui. Sebab, mereka adalah asal mula
bangsa Arab dan kunsi utama Islam bahwa tetap dipungut zakat harta orang kaya
di antara orang kaya di antara mereka dan kemudian diserahkan kembali kepada
orang-orang fakir di antara mereka.”
Abu Ubaid berkata, “Sandaran
utama di dalam berbagai hadits diatas adalah berdasarkan keterangan Sunnah
Rasulullah ketika beliau memberikan wasiat kepada Mu’adz. Yaitu, ketika beliau
mengutus Mu’adz supaya berangkat ke negeri Yaman, kemudian mengajak mereka agar
masuk Islam dan menunakan ibadah shalat. Rasulullah bersabda, ‘Apabila mereka menerima tawaranmu itu, maka
sampaikanlah atas hartamu, mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat
atas hartamu, yang mana ia dipungut dari orang-orang kaya diantara kalian dan
kemudian ia diserahkan kepada orang-orang fakir di antara kalian.”
Serupa dengan Hadits diatas:
(((Arab)))
Dari Abu Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata, “Saya pernah mendengar Abu
Ja’far Muhammad bin Ali bercerita bahwa Ali pernah berkata, ‘Sesungguhnya
telah Allah mewajibkan orang-orang kaya suapaya memberikan harta mereka yang
dapat mencukupi orang-orang fakir. Apabila mereka lapar, atau tidak berpakaian,
atau sengsara, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan orang-orang kaya.
Allah berhak menghisab dan menyiksa mereka.’”
Abu Ubaid berkata, “Para ulama zaman sekarang
telah berijma dan sepakat menggunakan atsar-atsar
ini bahwa setiap penduduk negeri
atau penghuni pinggiran sungai, maka mereka lebih berhak menerima zakat harta
orang kaya diantara mereka. Selama masih ada di antara mereka orang-orang yang
memerlukan seperti di dalam asnaf yang
delapan, walaupun hanya satu ashnaf saja,
apalagi lebih dari dua ashnaf. Walaupun
pembagian zakat harta tersebut hanya diterima oleh satu orang saja, sehingga
apabila petugas zakat pulang, maka dia tidak membawa apa-apa dari hasil
pungutan zakatnya.”
Keterangan ini telah diperkuat lagi dengan
beberapa hadits sebagai penafsirannya.
Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Jallad
emberitahukan kepadaku bahwa ‘Amru bin Syu’aib telah memberitahukan kepadanya
bahwa Mu’adz bin Jabl masih tetap berdomisili di al-Jindi.[2]
Tiba-tiba Rasulullah dan Abu Bakar wafat. Kemudian Mu’adz datang ke Madinah
pada zaman pemerintahan Umar. Lalu Umar mengembalikannya lagi tugas Mu’adz ke
semula di Yaman.
Lalu Mu’adz mengirimkan sepertiga harta
masyarakat Yaman kepadanya. Kemudian Umar mengingkari yang demikian itu dan
berkata, ‘Saya tidak mengutusmu sebagai pengumpul zakat dan jizyah. Akan tetapi, saya mengutusmu
supaya engkau mengambil zakat harta orang-orang kaya di antara mereka dan
kemudian menyerahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka.’ Mu’adz
berkata, ‘Saya tidak mengirimkan sesuatu kepadamu. Akan tetapi, aku menemukan
seseorang yang mengambil bagian zakat dan kemudian menyerahkan kepadamu.’
Tatkala pada tahun kedua, Mu’adz mengirimkan
lagi setengah harta zakat yang telah diambilnya, lalu kedua sahabt itu saling
menuding dan akhirnya Umar mengembalikan zakat yang telah dikirimkan kepadanya.
Tatkala pada tahun ketiga, maka Mu’adz mengirimkan lagi bagian zakat secara
keseluruhan. Akan tetapi, zakat itu tetap Umar kembalikan lagi ke yaman, seperti
yang telah dilakukan sebelumnya. Lalu Mu’adz berkata, ‘Saya tidak pernah
menjumpai seseorang pun yang mengambil bagian zakatnya kepadaku.’”
Dari Sa’id ibnul Musayyab bahwa Umar telah
mengutus Mu’adz sebagai pengumpul zakat atas bani Kilab atau bani Sa’ad bin
Dzubyan. Lalu Mu’adz membagikan zakat tersebut di kalangan orang-orang fakir di
antara mereka sampai tidak tersisa sedikitpun, sehingga dia pulang hanya
membawa alas pelana tunggangannya. Maka istrinya berkata, “Manakah hasil
pengumpulan zakat yang telah engkau pungut dari mereka, dan manakah hadiah
musafirnya?” dia menjawab, “Saya hanya bersama Allah.” Istrinya berkata lagi,
“Sebelumnya engkau adalah orang yang terpercaya di sisi Rasulullah dan di sisi
Abu Bakar. Apakah Umar hanya mengutusmu sebagai pengawas (Dhaghithan)?”
Lalu Istrinya berdiri dan keluar dari jamaah
wanita pada saat itu, dan dia juga mengajukan keluhan kepada Umar. Dan, Umar
pun menerima keluhan itu. Kemudian Umar memanggil Mu’adz dan berkata, “Apakah
saya mengutusmu hanya sebagai teman Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya tidak
mempunyai alasan lain kepada istriku itu melainkan kata-kata yang telah aku
kemukakan kepadanya.” Lalu Umar tertawa, dan dia memberikan Mu’adz hadiah. Umar
berkata, “Senangkanlah istrimu dengan hadiah ini.:
Ibnu Juraij berkata, “Menurut saya, maksud
perkataan Mu’adz,’Dhaghthan,’ adalah
oleh tuhannya.”
HUKUM
MEMBAWA ZAKAT KELUAR DARI NEGERINYA
Dari Shihab bin Abdullah al-Khaulani, ia
berkata, “Sa’ad berangkat ke Madinah sehingga menjumpai Umar. Dia adalah salah
seorang sahabat dari Ya’la bin Umayyah. Umar berkata, ‘Engkau hendak pergi
kemana?’ sa’ad menjawab, “Saya ingin berijtihad.’ Umar berkata, ‘Pulang sajalah
engakau. Sebab, melakukan suatu kebenaran juga dinamakan Ijtihad yang baik.’
Tatkala Sa’ad akan pulang kedaerahnya, maka Umar berkata, ‘Apabila engkau
melewati orang yang memilki harta, maka janganlah engkau melpakan kebaikan itu.
Bagikanlah harta itu kepada tiga golongan. Kemudian pemilik harta itu disuruh
mengambil 1/3-nya. Setelah ia mengambil 1/3 itu, maka sisanya serahkanlah
kepada golongan ini dan golongan itu. ‘maksud dari golongan ini dan itu adalah
sebagimana yang telah digmbarkan oleh Umar kepada Sa’ad. Sa’ad berkata, ‘Kami
berangkat dan pergi bertujuan untuk memungut zakat, maka kami tidak akan
pulang, kecuali dengan cambuk-cambuk kami.”
Abu Ubaid berkata, “Seluruh hadits yang telah
disebutkan diatas telah menegaskan bahwa setiap masyarakat lebih berhak
menerima zakat harta mereka sendiri sehingga mereka sampai kepada tahap tidak
memerlukan lagi. Kami melihat memang mereka lebih berhak menerima zakat harta
itu, bukan kepada masyarakat yang berada di kawasan lainnya. Akan tetapi, sunnah
telah menerangkan mengenai kehormatan dan etika bertetangga dan juga kedekatan
rumah orang yang berhak dan orang yang kaya raya.”
Apabila pengumpul zakat tidak mengetahui, lalu
ia membawa zakat dari suatu negeri ke negeri lainnya, padahal negeri itu masih
memiliki banyak penduduk yang fakir, maka pemimpin harus mengembalikan zakat
harta itu ke negeri asal harta tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah
difatwakan Sa’id bin Jubair.
Akan tetapi, Ibrahim dan Hasan telah
memberikan keringanan kepada seseorang yang ingin meyerahkan harta zakatnya
kepada kaum kerabatnya, walaupun ia tinggal di negeri yang berbeda dengan kaum
kerabatnya itu. Ini hanya diperbolehkan pada zakat harta milik pribadi saja.
Adapun zakat milik orang banyak yang telah dipegang oleh pemimpin, maka tidak
boleh diserhkan kepada daerah lain, walaupun di sana ada kerabatnya.
Sama dengan perkataan Ibrahi dan Hasan adalah
hadits Abul ‘Aliyah.
Dari Abul ‘Aliyah, dia telah membawa zakat
hartanya ke Madinah.
Abu Ubaid berkata, “Kami melihat bahwa
tindakan Abul ‘Aliyah tersebut dikhususkan kepada kaum kerabatnya dan para mawali-nya saja.”
Apabila pemimpin tidak mengetahui kebutuhan
penerima zakat sehingga ia membagikannya kepada orang uang berada di daerah
lain atau menyuruh melakukan kebijakan yang demikian itu para petugas zakatnya,
lalu dia mengetahui bahwa di daerahnya tersebut masih banyak orang fakir, maka
telah diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab bahwa pemimpin harus melipatgandakan pemberian zakat harta pada tahun
berikutnya.
Dari Abul Aswad bin Abdulrahman, dia pernah
mendengarkan Umair bin Salamah ad-Du’ali yang menceritakan bahwa ia pernah
pergi bersama Umar ibnul Khaththab. Atau, Umar Ibnul Khaththab telah
memberitahukan kepada Umair mengenai orang-orang yang bersama Umar. Walaupun Umair
adalah seorang yag telah tua, ia berkata, “Ketika kami bersama-sama Umar di
suatu siang, kami tidur siang dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang
seorang wanita Arab Badui menghampiri para sahabat. Wanita itu pun mendekati
Umar seraya berkata, “Sebenarnya saya adalah seorang wanita yang miskin
sedangkan saya mempunyai banyak anak lelaki. Amirul Mukminin Umar Ibnul
Khaththab telah megutus Muhammad bin Maslamah untuk bertugas sebagai pengumpul
zakat. Akan tetapi, dia tidak memberikan bagian zakat kepada kami. Barangkali
engkau dapat memberikan bantuan kepada kami membicarakan permasalahan yang kami
hadapi kepada Umar. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadamu.’
Lalu Umar berteriak memanggil Yarfa’,
‘Panggilkanlah Muhammad bin Maslamah supaya menghadap kepadaku!’ Wanita itu
berkata, “Sebenarnya jika engkau melaksanakan permohonanku ini, niscaya lebih
baik demi menutupi keperluanku ini dibanding harus mendatangkan Muhammad bin
Maslamah.’ Umar berkata, ‘Dia akan mengabulkan perminatanmu itu, Insya Allah.’ Lalu Yarfa’ menjumpai
Muhammad bin Maslamah seraya berkata, “Umar telah memintamu untk segera
menghadapnya.’
Muhammad bin Maslamah mendatangi Umar seraya
berkata, ‘Salam sejahtera kepadamu, wahai Amirul Mukminin.’ Wanita yang
mengeluh kepada Umar pun jadi malu. Umar berkata, ‘Demi Allah, tidak ada
gunanya aku memilih orang terbaik di antara kalian. Bagaimana engkau akan
menjawab apabila Allah menanyakan tentang nasib wanita ini?’ Lalu kadua mata
Muhammad bin Maslamah meneteskan air matanya. Kemudian Umar berkata,
‘Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi-Nya saw. kepada kita. Lalu kita
membenarkanya dan mengikutinya. Setelah itu beliau pun mengaplikasikannya
perintah Allah yang telah diperintahkan kepadanya. Kemudian beliau memberikan
zakat kepada orang-orang yang berhak dari kalangan orang miskin. Sehingga,
Allah mencabut nyawa beliau saw. saat beliau masih melaksanakan hal itu. Lalu
Allah menggantikan kedudukan Rasulullah dengan Abu Bakar. Dia juga telah
mengaplikaskan sunnah-sunnah Rasul sampai Allah mewafatkan dalam dia masih
melaksanakan hal itu. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku menggantikan kedudukan
Abu Bakar. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku memilih yang terbaik diantara
kalian. Jika aku mengutusmu lagi, maka berikanlah kepadanya bagian zakat pada
tahun ini dan tahun sebelumnya. Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan
mengutusmu lagi.’
Kemudian Umar memberikan kepada wanita itu 1
ekor unta, gandum, dan minyak. Umar berkata, ‘Ambillah ini, sehingga engkau
mendatangi kami di Khaibar. Sebab, kami ingin melihat unta ini.;
Lalu wanita itu pun mendatangi Umar tatkala di
Khaibar, dan dia memberikan 2 ekor unta lagi kepada wanita itu. Umar berkata,
‘Ambillah pemberian ini, maka ini akan cukup sebagai bekalmu sehingga
kedatangan Muhammad bin Maslamah nanti. Sebab, aku telah memerintahkan supaya
pemberian hakmu pada tahun ini dan tahun sebelumnya.’”
Dari Yahya bin Sa’id, sama dengan isi hadits
di atas. Namun dengan riwayat berbeda.
Abu Ubaid berkata, “Di samping hadits-hadits
di atas juga telah didapati hadits-hadits lain yang menunjukkan adanya
keringanan membawa zakat harta dari sebuah negeri ke neger yang lainnya. Yaitu
seperti hadits Rasulullah ketika beliau berkata kepada Qubaishah ibnul Mukhariq
mengenai utang pembayarat diyat. ‘Menetaplah engkau disini sehingga datang
zakat harta. Setelah datangnya zakat harta nanti adakalanya kami hanya
memberikan bantuan keringanan kepadamu, atau adakalanya juga kami akan membayar
seluruh hutang bayaran diyat uang telah menjadi tanggung jawabmu.’ Dengan
demikian, Rasulullah telah memberikan zakat harta Hijaz kepada Qubaishah,
Rasululllah telah sendiri adalah penduduk Nijid. Dalam hadits diatas jelaslah
bahwa beliau saw. telah membolehkan zakat penduduk Nijid kepada penduduk Hijaz
dan begitu pula sebaliknya.”
Demikian juga hadits ‘Adi bin Hatim, ketika
dia membawa zakat harta kaumnya kepada Ibnu Abu Dzubab. Umar telah mengutusnya
setelah musim paceklik dan berkata, “Ambilah dua pembayaran zakat pada unta.
Satu diantaranya dibagikan di kalangan mereka, sementara yang lainnya bawalah
kepadaku.”
Demikian hadits Mu’adz, ketika dia berkata
kepada penduduk Yaman dan pakaian yang biasa digunakan dalam sehari-hari, sebab
aku memungut yang demikian itu darimu sebagai pengganti bayaran zakat. Sebab,
yang demikian itu lebih memudahkan kepadamu dan lebih bermanfaat kepada
orang-orang Muhajirin di Madinah.”
Abu Ubaid berkata, “Sebenarnya, pengganti
bayaran zakat ini tidak diperbolehkan, terkecuali barang tersebut sudah tidak
diperlukan lagi dan mereka sudah tidak membutuhkan untuk mengkomsumsinya,
seperti yang telah kami sebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar
dan Mu’adz.”
Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah,
“Dan mereka
menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah,
‘Kelebihan (dari apa ang diperlukan)....’” (al-Baqarah:
219)
Ibnu Abbas berkata, “Maksud dari ayat diatas
adalah yang lebih dari kebutuhan setelah mendapatkan kekayaan.”
[1] Kitab Al-Amwal atau Eklopedia Keuangan Publik Karya Abu ‘Ubaid al-Qasim, bab Jenis Harta yang Dikelola Oleh Pemimpin
Berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, hal terjemahan 715-723
[2] Al-Jindi
adalah sebuah perkotaan di Yaman. Dan, juga terdapat satu wilayah yang masih
menggunkan nama seperti ini hingga sekarang. Di Yaman terdapat tiga wilayah
besar, yaitu al-jindi, Shana’a, dan Hadramaut.
0 komentar:
Posting Komentar