Sumber: [1]
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila
engkau telah menyerahkan zakat harta kepada salah satu di antara asnaf yang delapan, maka yang demikian itu sudah
diperbolehkan (sah).”
Hajajj berkata, “Saya pernah bertanya kepada Atha’
mengenai hal demikan itu. Ia berkata, ‘Boleh-boleh saja.”
Dari Sa’id Jubair dan ‘Abdul Malik dari Atha’, kedua
ulama tersebut berkata, “Apabila engkau menyerahkan harta kepada satu asnaf saja, maka yang demikian itu
diperbolehkan dan sudah dianggap sah.”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Apabila engkau telah
menyerahkan zakat harta kepada satu asnaf
saja diantara asnaf yang delapan,
maka yang demikian itu sudah cukup. Tujuan firman Allah,
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, (at-Taubah:
60)
Dan
seterusnya supaya tidak diberikan kepada selain golongan itu.”
Dari Hasan,
ia berkata, “Zakat itu bagaikan tanda pengenal, dimana saja engaku
menyerahkannya, maka itu sudah cukup bagimu.”
‘Ikramah
berkata, “Berikanlah zakat harta itu secara merata di antara ‘ashnaf yang delapan.”
Dari Ibrahim, ia berkata, “Apabila zakat harta itu
banyak, maka bagikanlah secara merata di antara ashnaf yang delapan. Apabila harta zakat itu sedikit, maka
berikanlah kepada satu ashnaf saja.”
Serupa dengan hadits di atas.
Dari Ibrahim, ia berkata, “Tidaklah mereka itu
meminta-minta melainkan mereka dalam keadaan miskin.”
Dari Ibnu Syihab, ia
berkata, “Masyarakat yang paling sejahtera dan bahagia adalah paling banyak
presentase orang kayanya. Masyrarakat yang paling melarat dan sengsara adalah
yang paling banyak presentase orang miskinnya.”
Dari malik, ia berkata, “Permasalahan yang sama sekali
tidak ada perbedaan pendapat di sisi kami adalah mengenai pembagian zakat yaitu
pembagiannya adalah berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan penguasa. Oleh
sebab itu, ashnaf yang terbanyak dan ashnaf yang paling membutuhkan, maka ia
mesti didahulukan sesuai dengan kemashlahatan yang dilihatnya. Petugas zakat
(amil) tidak mempunyai ketentuan yang pasti dan jelas.”
Abu Ubaid berkata, “Demikian juga pendapat Sufyan dan
Ulama Irak bahwa apabila zakat itu telah diserahkan kepada satu asnaf daja diantara ashnaf yang delapan, maka yang demikian itu telah mencukupi dan sudah boleh dikatakan
sah.”
Sedangkan,
ulama lainya berpendapat bahwa zakat itu mesti dibagi secara merata di antara ashnaf yang delapan. Di antara ulama
yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ikramah di dalam haditsnya telah kami
sebutkan diatas.
Pembagian Harta Zakat pada Zaman Umar
bin Abdul Aziz
Ibrahim dan Atha’ telah sependapat dengan ‘Ikramah,
apabila zakat harta itu banyak. Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan Ibnu
Syihab supaya menulis ketentuan pembagian zakat secara merata dan
terpisah-pisah di antara para ashnaf yang
delapan.
Dari ‘Uqail, ia berkata, “Ibnu Syihab telah menceritakan
kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kepadanya supaya menulis
ketentuan pembagian zakat sesuai dengan peraturan sunnah. Isi surat itu adalah,
‘Ini adalah ketentuan pembagian zakat dan penyaluranya, Insya Allah. Ada delapan penyaluran, di mana mereka masing-masing
mendapatkan bagian. Pertama, satu bagian
untuk fakir. Kedua, satu bagian untuk miskin. Ketiga, satu bagian untuk
petugas zakat (Amil). Keempat, satu bagian orang ingin
dijinakkan hatinya (Mu’allaf). Kelima, satu bagian untuk budak. Keenam,
satu bagian untuk orang yang terhutang. Ketujuh, satu bagian
untuk fisabilillah. Kedelapan, satu bagian untuk Ibnu Sabil.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Bagian Fakir: setengahnya
diberikan kepada mereka yang berperang di jalan Allah untuk perang pertama yang
dijalaninya, yaitu ketika diberikan bantuan kepada mereka. Dan, ini merupakan
pemberian pertama yang mesti diamil oleh mereka. Kemudian mereka mendapat
ketentuan bagian zakat. Bagaikan terbesar mereka adalah terletak di dalam harta
fai’. Setengahnya lagi diberikan
kepada fakir yang tidak ikut serta dalam penyerangan. Yaitu, seperti orang yang
menderita sakit lumpuh dan orang yang tidak bisa ikut perang berdasarkan kepada
alasan syar’i, maka boleh menerima zakat. Insya
Allah.
Bagian miskin: setengahnya diberika kepada orang miskin
yang menderita penyakit yang tidak bisa lagi berusaha dan bergerak dipermukaan
bumi. Setengahnya lagi diberikan kepada orang miskin yang meminta-minta dan
meminta makanan. Juga diserahkan kepada orang yang ditahan di dalam penjara
yang tidak ada keluarga untuk membantunya. Insya
Allah.
Bagian petugas zakat Amil:
ini mesti dilihat kepada usahanya dan prstasinya dalam memungut zakat
secara amanah dan iffah. Kemudian
diberikan bagian zakat sesuai dengan tugas yang telah dijalankannya, dan sesuai
dengan usahanya di dalam pengumpulan zakat. Lalu para anggotanya sama-sama
memungut zakat, maka mereka juga diberi bagian zakat sesuai dengan usaha dan
hasil pengumpulan zakat mereka. Barangkali yang demikian mesti mencapai jumlah
standar, yaitu kurang lebih seperempat dari ketentuan bagian amil. Sisa dari bagian tersebut adalah
tiga dari sepermpat, setelah para anggota amil
mendapatkan bagianya. Kemudian sisanya diberika kepada psaukan cadangan[2]
dan pasukan pertama yang menyasikan perang.[3]
Insya Allah.
Bagian orang yang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf): ini diberika kepada pasukan
cadangan fakir miskin, yang mensyaratkan pemberian bayaran dan orang yang
berperang tanap mensyaratkan memberikan bagian gaji, walaupun sebenarnya mereka
adalah orang fakir. Bagian ini juga diberikan kepada orang-orang miskin yang
hadir di dalam masjid, sedangkan mereka tidak ada gaji apa pun, orang yang
tidak mempunyai bagian di dalam baitulmaal, dan orang yang tidak meminta-minta
kepada orang lain. Insya Allah
Bagian Budak: ini terbagi kepada dua golongan. Setengah
dibagika kepada mukatab yang mengaku
masuk Islam. Mereka terbagi kepada beberapa tingkatan. Ahli fiqih Islam di
antara mereka mendapat bagian yang lebih banyak. Sementara yang lainnya tetap
mendapatkan bagian, tetapi kurang dari bagian ahli faqih diantara mereka. Dan, ini sesuai dengan peranan yang telah
disumbangkan oleh masing-masing di antara mereka. Sedangkan, sisanya juga tetap
diserahkan kepada mereka. Insya Allah. Setengahnya
lagi adalah untuk biaya pembelian budak yang melaksanakan ibadah shalat, puasa,
dan telah masuk agama Islam, baik lelaki maupun perempuan. Setelah itu, mereka
mesti dimerdekakan. Insya Allah.
Bagian orang yang terhutang: ini terbagi kepada tiga
golongan. Satu bagian di antara mereka diserahkan kepada orang yang tertimpa
musibah di jalan Allah, sehingga hartanya, kekuatannya, dan budaknya habis.
Sementara dia masih mempunyai utang yang belum bisa terbayar. Dan, dia tidak
bisa memberikan nafkah kepada keluargannya melainkan dengan cara utang. Dua
bagian diantara bagian orang uang terhutang diberikan kepada orang uang
tertahan di dalam negeri dan ikut perang.
Sedangkan, ia adalah orang yang terutang dan dia telah tertimpa
kefakiran. Dia juga telah mempunyai utang yang disebabkan oleh perbuatan
masksiat di jalan Allah. Dia juga tidak tertuduh jahat didalam agamanya dan
cara berutangnya. Insya Allah.
Bagian fisabilillah:
seperempat dari bagian ini diberika kepada sebagian golongan ini.
Seperempatnya lagi darinya diberikan kepada pasukan fakir cadangan yang
mensyaratkan bagian zakat. Sebagiannya lagi diserahkan kepada penjaga
perbatasan apabila mereka memerlukannya. Dan, dia pada saat itu adalah pejuang
dijalan Allah. Insya Allah.
Bagian Ibnu Sabil:
zakat ini dibagiankan pada setiap penghuni di pinggir jalan sesuai dengan kadar
orang yang melintasinya dan oerng uang melewatinya. Ia juga diberikan kepada
setiap seseorang yang sedang mengadakan perjalanan, yang tidak memiliki tempat
tinggal dan keluarga untuk dijadikan sebagai tempat perlindungannya. Lalu dia
boleh memakan bagian zakat itu, sehingga ia menemukan rumah yang dituju atau
sehngga ia menemukan keperluannya, ia mesti diletakkan di tempat-tempat
keramaian dan diamanahkan kepada orang yang terpercaya, dimana apabila ada
setiap Ibnu Sabil yang lewat, maka
mereka memberika perlindungan kepadanya, memberikan hidangan makanan, dan
mengembala tungangannya, sehingga habis bekal yang dimilikinya. Insya Allah.
Abu Ubaid berkata, “Kemudian Umar bin Abdul Aziz
menyebutka mengenai zakat biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, dan kambing
dalam sebuah hadits yang sangat panjang.”
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah keterangan mengenai
penaluran zakat, apabila dibagikan secara merata dianatar seluruh ashnaf yang delapan. Ini adalah cara
pembagian zakat bagi orang yang mampu melakukannya. Akan tetapi, saya
berpendapat bahwa cara pembagian zakat seperti ini tidaklah diwajibkan
melainkan kepada pemimpin yang mana zakat kaum Muslimin telah melimpah ruah di
sisinya. Pemimpin mesti membagikan zakat harta tersebut kepada seluruh ashnaf, sebab ini merupakan hak yang
mesti diterima mereka. Adapun orang yang tidak memilik banyak zakat harta
selain dari kewajiaban zakat hartanya sendiri saja, apabila ia memberika
zakatnya kepada sebagian ashnaf saja,
maka yang demikian itu sudah dibolehkan dan sudah dianggap sah. Ini berdasarkan
kepada pendapat ulama yang telah kami sebutkan di atas.”
Landasan hukum bahwa membagikan zakat hanya kepada
sebagian ashnaf saja sudah dibolehkan
adalah berdasarkan kepada hadits yang telah diriwayatkan dari Rasulullah,
ketika beliau menerangkan mengenai zakat. Beliau bersabda, ”Zakat mesti diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan
kemudian deiserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.” Disini
Rasulullah tidak menyebutkan banyak ashnaf,
tetapi beliau hanya menyebutkan satu golongan saja, yaitu golongan fakir.
Setelah itu, beliau memberikan zakat zakat kepada ashnaf kedua selain fakir, yaitu orang-orang yang dijinakkan
hatinya saja (Mu’allaf) yaitu al-Aqra’ bin Habis, ‘Unaiyah bin Hishn,
‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dan Zaid bin al-Khaili. Rasulullah telah membagikan
dianatara mereka emas yang telah dikirimkan Ali dari hasil pungutan zakat harta
penduduk Yaman. Kemudian setelah Rasulullah menerima harta yang lainnya, maka
beliau menyerahkan kepada ashnaf yang
ketiga, yaitu orang-orang yang terutang.
Diantara hal demikian adalah sabda Rasulullah kepada
Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang tanggung jawab pembayaran diyat yang telah menjadi beban kepadanya, “Bertempat tinggalah engaku disisni,
sehingga datang kepada kami zakat harta. Setelah harta zakat itu datang,
adakalanya kami hanya memberikan bantuan kepadamu utnuk meringankan beban utang
tersebut, dan adakalanya juga kami akan memberikannya bayaran secara penuh
terhadap utang yang sedang engkau sandang itu.”
Seluruh hadits ini telah kami terangkan pada pembahasan
bab-bab yang sebelumnya.
Oelh sebab itu, saya lihat bahwa Rasulullah telah
membeikan zakat harta kepada sebagian ashnaf
saja, tanpa harus memberikannya kepada seluruh ashnaf secara merata.
Dengan demikian, seorang pemimpin diberikan kebebasan
memilih antara membagikan zakat harta secara merata kepada seluruh ashnaf yang delapan atau hanya memberikannya kepada
sebagian ashnaf saja, apabila yang
demikian itu berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan, tidak ada unsur nepotisme
dan jauh dari penyelewengan kebenaran. Demikan juga selain pemimpin., bahkan ia
memiliki kebebasan memilih yang lebih luas. Insya
Allah.
[1] Ditulis
dari kitab al-Amwal karya Abu Ubad’
al Qasim hal 694-700 teks terjemahan Indonesia
[2] Al-Amdad adalah pasukan yang terdiri dari
golongan fakir, yang hampir sama dengan pasukan cadangan.
[3]
Al-Musytarithah adalah awal pasukan yang meyasikan peperangan. Dinamakan
demikian disebabkan mereka telah memberitahukan diri mereka sebagai tanda yang
pasti dapat dikenal secara langsung, apabila terdpat tanda itu. Oleh sebab itu,
mereka adalah pemberi isyarat supaya bersiap-siap menghadpi kematian. Bisa juga
maksudnya adalah pasukan yang telah mensyaratkan bayaran dalam perang. Wallahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar