Rabu, 19 September 2012

PEMBAGIAN ZAKAT SECARA MERATA DI ANTARA ASNAF YANG DELAPAN


Sumber: [1]
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada salah satu di antara asnaf  yang delapan, maka yang demikian itu sudah diperbolehkan (sah).”
Hajajj berkata, “Saya pernah bertanya kepada Atha’ mengenai hal demikan itu. Ia berkata, ‘Boleh-boleh saja.”
Dari Sa’id Jubair dan ‘Abdul Malik dari Atha’, kedua ulama tersebut berkata, “Apabila engkau menyerahkan harta kepada satu asnaf saja, maka yang demikian itu diperbolehkan dan sudah dianggap sah.”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada satu asnaf saja diantara asnaf yang delapan, maka yang demikian itu sudah cukup. Tujuan firman Allah,
 Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, (at-Taubah: 60)
Dan seterusnya supaya tidak diberikan kepada selain golongan itu.”
Dari Hasan, ia berkata, “Zakat itu bagaikan tanda pengenal, dimana saja engaku menyerahkannya, maka itu sudah cukup bagimu.”
‘Ikramah berkata, “Berikanlah zakat harta itu secara merata di antara ‘ashnaf yang delapan.”
Dari Ibrahim, ia berkata, “Apabila zakat harta itu banyak, maka bagikanlah secara merata di antara ashnaf yang delapan. Apabila harta zakat itu sedikit, maka berikanlah kepada satu ashnaf saja.”
Serupa dengan hadits di atas.
Dari Ibrahim, ia berkata, “Tidaklah mereka itu meminta-minta melainkan mereka dalam keadaan miskin.”
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Masyarakat yang paling sejahtera dan bahagia adalah paling banyak presentase orang kayanya. Masyrarakat yang paling melarat dan sengsara adalah yang paling banyak presentase orang miskinnya.”
Dari malik, ia berkata, “Permasalahan yang sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di sisi kami adalah mengenai pembagian zakat yaitu pembagiannya adalah berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan penguasa. Oleh sebab itu, ashnaf yang terbanyak dan ashnaf yang paling membutuhkan, maka ia mesti didahulukan sesuai dengan kemashlahatan yang dilihatnya. Petugas zakat (amil) tidak mempunyai ketentuan yang pasti dan jelas.”
Abu Ubaid berkata, “Demikian juga pendapat Sufyan dan Ulama Irak bahwa apabila zakat itu telah diserahkan kepada satu asnaf daja diantara ashnaf yang delapan, maka yang demikian  itu telah mencukupi dan sudah boleh dikatakan sah.”
Sedangkan, ulama lainya berpendapat bahwa zakat itu mesti dibagi secara merata di antara ashnaf yang delapan. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ikramah di dalam haditsnya telah kami sebutkan diatas.
Pembagian Harta Zakat pada Zaman Umar bin Abdul Aziz
Ibrahim dan Atha’ telah sependapat dengan ‘Ikramah, apabila zakat harta itu banyak. Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan Ibnu Syihab supaya menulis ketentuan pembagian zakat secara merata dan terpisah-pisah di antara para ashnaf yang delapan.
Dari ‘Uqail, ia berkata, “Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kepadanya supaya menulis ketentuan pembagian zakat sesuai dengan peraturan sunnah. Isi surat itu adalah, ‘Ini adalah ketentuan pembagian zakat dan penyaluranya, Insya Allah. Ada delapan penyaluran, di mana mereka masing-masing mendapatkan bagian. Pertama, satu bagian untuk fakir. Kedua, satu bagian untuk miskin. Ketiga, satu bagian untuk petugas zakat (Amil). Keempat, satu bagian orang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf). Kelima, satu bagian untuk budak. Keenam, satu bagian untuk orang yang terhutang. Ketujuh, satu bagian untuk fisabilillah. Kedelapan, satu bagian untuk Ibnu Sabil.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Bagian Fakir: setengahnya diberikan kepada mereka yang berperang di jalan Allah untuk perang pertama yang dijalaninya, yaitu ketika diberikan bantuan kepada mereka. Dan, ini merupakan pemberian pertama yang mesti diamil oleh mereka. Kemudian mereka mendapat ketentuan bagian zakat. Bagaikan terbesar mereka adalah terletak di dalam harta fai’. Setengahnya lagi diberikan kepada fakir yang tidak ikut serta dalam penyerangan. Yaitu, seperti orang yang menderita sakit lumpuh dan orang yang tidak bisa ikut perang berdasarkan kepada alasan syar’i, maka boleh menerima zakat. Insya Allah.
Bagian miskin: setengahnya diberika kepada orang miskin yang menderita penyakit yang tidak bisa lagi berusaha dan bergerak dipermukaan bumi. Setengahnya lagi diberikan kepada orang miskin yang meminta-minta dan meminta makanan. Juga diserahkan kepada orang yang ditahan di dalam penjara yang tidak ada keluarga untuk membantunya. Insya Allah.
Bagian petugas zakat Amil: ini mesti dilihat kepada usahanya dan prstasinya dalam memungut zakat secara amanah dan iffah. Kemudian diberikan bagian zakat sesuai dengan tugas yang telah dijalankannya, dan sesuai dengan usahanya di dalam pengumpulan zakat. Lalu para anggotanya sama-sama memungut zakat, maka mereka juga diberi bagian zakat sesuai dengan usaha dan hasil pengumpulan zakat mereka. Barangkali yang demikian mesti mencapai jumlah standar, yaitu kurang lebih seperempat dari ketentuan bagian amil. Sisa dari bagian tersebut adalah tiga dari sepermpat, setelah para anggota amil mendapatkan bagianya. Kemudian sisanya diberika kepada psaukan cadangan[2] dan pasukan pertama yang menyasikan perang.[3] Insya Allah.
Bagian orang yang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf): ini diberika kepada pasukan cadangan fakir miskin, yang mensyaratkan pemberian bayaran dan orang yang berperang tanap mensyaratkan memberikan bagian gaji, walaupun sebenarnya mereka adalah orang fakir. Bagian ini juga diberikan kepada orang-orang miskin yang hadir di dalam masjid, sedangkan mereka tidak ada gaji apa pun, orang yang tidak mempunyai bagian di dalam baitulmaal, dan orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain. Insya Allah
Bagian Budak: ini terbagi kepada dua golongan. Setengah dibagika kepada mukatab yang mengaku masuk Islam. Mereka terbagi kepada beberapa tingkatan. Ahli fiqih Islam di antara mereka mendapat bagian yang lebih banyak. Sementara yang lainnya tetap mendapatkan bagian, tetapi kurang dari bagian ahli faqih diantara mereka. Dan, ini sesuai dengan peranan yang telah disumbangkan oleh masing-masing di antara mereka. Sedangkan, sisanya juga tetap diserahkan kepada mereka. Insya Allah. Setengahnya lagi adalah untuk biaya pembelian budak yang melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan telah masuk agama Islam, baik lelaki maupun perempuan. Setelah itu, mereka mesti dimerdekakan. Insya Allah.
Bagian orang yang terhutang: ini terbagi kepada tiga golongan. Satu bagian di antara mereka diserahkan kepada orang yang tertimpa musibah di jalan Allah, sehingga hartanya, kekuatannya, dan budaknya habis. Sementara dia masih mempunyai utang yang belum bisa terbayar. Dan, dia tidak bisa memberikan nafkah kepada keluargannya melainkan dengan cara utang. Dua bagian diantara bagian orang uang terhutang diberikan kepada orang uang tertahan di dalam negeri dan ikut perang.  Sedangkan, ia adalah orang yang terutang dan dia telah tertimpa kefakiran. Dia juga telah mempunyai utang yang disebabkan oleh perbuatan masksiat di jalan Allah. Dia juga tidak tertuduh jahat didalam agamanya dan cara berutangnya. Insya Allah.
Bagian fisabilillah: seperempat dari bagian ini diberika kepada sebagian golongan ini. Seperempatnya lagi darinya diberikan kepada pasukan fakir cadangan yang mensyaratkan bagian zakat. Sebagiannya lagi diserahkan kepada penjaga perbatasan apabila mereka memerlukannya. Dan, dia pada saat itu adalah pejuang dijalan Allah. Insya Allah.
Bagian Ibnu Sabil: zakat ini dibagiankan pada setiap penghuni di pinggir jalan sesuai dengan kadar orang yang melintasinya dan oerng uang melewatinya. Ia juga diberikan kepada setiap seseorang yang sedang mengadakan perjalanan, yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk dijadikan sebagai tempat perlindungannya. Lalu dia boleh memakan bagian zakat itu, sehingga ia menemukan rumah yang dituju atau sehngga ia menemukan keperluannya, ia mesti diletakkan di tempat-tempat keramaian dan diamanahkan kepada orang yang terpercaya, dimana apabila ada setiap Ibnu Sabil yang lewat, maka mereka memberika perlindungan kepadanya, memberikan hidangan makanan, dan mengembala tungangannya, sehingga habis bekal yang dimilikinya. Insya Allah.
Abu Ubaid berkata, “Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyebutka mengenai zakat biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, dan kambing dalam sebuah hadits yang sangat panjang.”
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah keterangan mengenai penaluran zakat, apabila dibagikan secara merata dianatar seluruh ashnaf yang delapan. Ini adalah cara pembagian zakat bagi orang yang mampu melakukannya. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa cara pembagian zakat seperti ini tidaklah diwajibkan melainkan kepada pemimpin yang mana zakat kaum Muslimin telah melimpah ruah di sisinya. Pemimpin mesti membagikan zakat harta tersebut kepada seluruh ashnaf, sebab ini merupakan hak yang mesti diterima mereka. Adapun orang yang tidak memilik banyak zakat harta selain dari kewajiaban zakat hartanya sendiri saja, apabila ia memberika zakatnya kepada sebagian ashnaf saja, maka yang demikian itu sudah dibolehkan dan sudah dianggap sah. Ini berdasarkan kepada pendapat ulama yang telah kami sebutkan di atas.”
Landasan hukum bahwa membagikan zakat hanya kepada sebagian ashnaf saja sudah dibolehkan adalah berdasarkan kepada hadits yang telah diriwayatkan dari Rasulullah, ketika beliau menerangkan mengenai zakat. Beliau bersabda, ”Zakat mesti diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian deiserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.” Disini Rasulullah tidak menyebutkan banyak ashnaf, tetapi beliau hanya menyebutkan satu golongan saja, yaitu golongan fakir. Setelah itu, beliau memberikan zakat zakat kepada ashnaf kedua selain fakir, yaitu orang-orang yang dijinakkan hatinya saja (Mu’allaf)  yaitu al-Aqra’ bin Habis, ‘Unaiyah bin Hishn, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dan Zaid bin al-Khaili. Rasulullah telah membagikan dianatara mereka emas yang telah dikirimkan Ali dari hasil pungutan zakat harta penduduk Yaman. Kemudian setelah Rasulullah menerima harta yang lainnya, maka beliau menyerahkan kepada ashnaf yang ketiga, yaitu orang-orang yang terutang.
Diantara hal demikian adalah sabda Rasulullah kepada Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang tanggung jawab pembayaran diyat  yang telah menjadi beban kepadanya, “Bertempat tinggalah engaku disisni, sehingga datang kepada kami zakat harta. Setelah harta zakat itu datang, adakalanya kami hanya memberikan bantuan kepadamu utnuk meringankan beban utang tersebut, dan adakalanya juga kami akan memberikannya bayaran secara penuh terhadap utang yang sedang engkau sandang itu.”
Seluruh hadits ini telah kami terangkan pada pembahasan bab-bab yang sebelumnya.
Oelh sebab itu, saya lihat bahwa Rasulullah telah membeikan zakat harta kepada sebagian ashnaf saja, tanpa harus memberikannya kepada seluruh ashnaf secara merata.
Dengan demikian, seorang pemimpin diberikan kebebasan memilih antara membagikan zakat harta secara merata kepada seluruh ashnaf  yang delapan atau hanya memberikannya kepada sebagian ashnaf saja, apabila yang demikian itu berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan, tidak ada unsur nepotisme dan jauh dari penyelewengan kebenaran. Demikan juga selain pemimpin., bahkan ia memiliki kebebasan memilih yang lebih luas. Insya Allah.



[1] Ditulis dari kitab al-Amwal karya Abu Ubad’ al Qasim hal 694-700 teks terjemahan Indonesia
[2]  Al-Amdad adalah pasukan yang terdiri dari golongan fakir, yang hampir sama dengan pasukan cadangan.
[3] Al-Musytarithah adalah awal pasukan yang meyasikan peperangan. Dinamakan demikian disebabkan mereka telah memberitahukan diri mereka sebagai tanda yang pasti dapat dikenal secara langsung, apabila terdpat tanda itu. Oleh sebab itu, mereka adalah pemberi isyarat supaya bersiap-siap menghadpi kematian. Bisa juga maksudnya adalah pasukan yang telah mensyaratkan bayaran dalam perang. Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar