• Praesent sapien velit

    A Blogger Template by NewBloggerThemes.com. Maecenas imperdiet, ligula et mattis feugiat, elit felis fringilla purus, eu pretium quam justo ac orci. Nunc congue, enim sit amet dignissim malesuada, metus purus aliquet nibh, non euismod urna urna ac libero. Aenean congue enim fringilla elit vulputate ut ornare massa aliquam. Mauris pellentesque odio et justo vehicula ullamcorper. Aliquam laoreet placerat massa vel [...]

  • Aenean velit risus, venenatis sed pellentesque ege

    A Blogger Template by NewBloggerThemes.com. Ut sit amet odio erat, ut rhoncus libero. Maecenas vestibulum dui et urna fringilla pulvinar at ornare nibh. Nam et scelerisque lorem. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos himenaeos. Nam quis neque et elit congue luctus. Sed ultrices tellus at dui pellentesque vulputate? Phasellus molestie tincidunt convallis. Nullam turpis [...]

  • Suspendisse pellentesque, enim id consequat luctus

    A Blogger Template by NewBloggerThemes.com. Donec a imperdiet metus. Nunc id consectetur velit. Vestibulum et urna neque, eget tempus libero. Suspendisse ac neque eu nisi viverra blandit? Sed in urna at purus cursus adipiscing. Maecenas ac nibh odio, quis dictum dolor. Maecenas id velit eu velit tempor dapibus sed non tellus. Nulla quis nisi a turpis auctor volutpat. In mollis [...]

Monaco, a free blogger theme from NewBloggerThemes.com

Sabtu, 27 Oktober 2012

Video: Prinsip-Prinsip Muamalah (Ust.Arifin Badri)

Video kajian Fikih muamalah yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Arifin Badri


Video Kajian Fikih Muamalah 2

Video Kajian disampaikan oleh Ustadz Aris Munandar

Kajian - Transaksi Jual Beli dalam Islam - Part 1
 


Kajian - Transaksi Jual Beli dalam Islam - Part 2
   

 Kajian - Aqidah Transaksi dan Syarat Jual Beli
   

 Kajian - Kaidah Produk Halal menjadi Haram dan Jual Beli Syarat 

  
 Kajian - Transaksi, Hadiah dan Asuransi 



Kajian - Transaksi Salam, Penetapan Harga, Penimbunan Barang dan Menjual Barang Kreditan

Video Kajian Fikih Muamalah 1

Kajian disampaikan oleh Ustadz Aris Munandar

Kajian - Transaksi Ju'alah dan Transaksi Menitipkan Barang

 


Kajian - Transaksi Gadai dan Transaksi Ijaroh

 

Kajian - Hukum Money Changer dan Kaidah Utang Piutang

   

 Kajian - Jenis Riba dan Hukum Bunga Bank
   

Kajian - Zakat, Hukum Bekerja di Bank dan Hukum KPR

   


Kajian - Perdagangan dan Jual Beli 



Untuk mendownload video gunakan IDM.

Minggu, 30 September 2012

Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’i)


Jaminan Sosial Takaful Ijtima’i[1]


Kemiskinan merupakan problematika terbesar dalam kehidupan, karena dampaknya terhadap banyak keburukan. Sebab kemiskinan membahayakan akidah seorang muslim dan akhlaknya, dan terhdap ketentraman masyarakat. Da bersama kemiskinan, maka lahir banyak problematika dalam kehidupan, seperti kelaparan, penyakit, kebodohan, lemahnya kemampuan mengeksplorasi sumber-sumber materi dan insani di daerah manapun yang dalamnya tersebar kemiskinn, yang selanjutya berdampak pada menurunnya tingkat sarana produksi di daerah-daerah yang miskin, dan menurunya pemasukan, perawatan kesehatan, dan pendidikan, kejumudan sosial, keterbelakangan peradaban, dan lain-lain.[2]
Sesungguhnya Islam datang dan menilai kemiskinan sebagai bencana dan musibah yang harus ditanggulangi, dan mohon kepada Allah dari keburukannya; dimana di antara do’a Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam adalah, “Ya Allah, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kekufuran dan kemiskinan.[3] Di antara cara yang ditetapkan oleh Islam untuk menanggulangi kemiskianan adalah himbauan bekerja dn sederhana dalam pembelanjaan. Bahkan menetapkan hak bagi fakir-miskin dalam harta orang-orang yang kaya, seperti zakat, shadaqah, dan lain-lain yang termasuk dalam kategori pembentukan sistem jaminan sosial, sehingga melalui sistem terbut dapat terjadi pengembalian distribusi pemasukan dalam ekonomi Islam.
Sedangkan dalam ekonomi Konvesional, maka diantara tema yang haram dikaji diantara kalangan ekonomi tradisional dan juga para pembuat kebijakan adalah tema perbedaan kekayaan. Lalu setalah itu, sistem konvesional baru mengarah kepada pengembalian distribusi sebagai respon terhadap tekanan kemanusian dan perekonomian, setelah perhatian terhadap orang-orang miskin dalam ekonomi konvesional sebagi dosa yang seyogyanya dimafkan, kemudian penanggulangan kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar bagi orang-orang miskin menjadi salah satu tujuan terpenting yang menjadi landasan strategi baru bagi teori pengembangan ekonomi.
Sungguh politik Umar Rashiyallah Anhu dalam distribusi difokuskan pada penanggulangan kemiskinan dan meringankan dampaknya, dan memnuhi kebuthan dasar individu. Di antara contoh hal itu adalah politiknya dalam distribusi pemberian, dimana kebutuhan individu merupakan tolak ukut terpenting yang menjadi landasan politik tersebut. Sebagaimana Umar juga memiliki politik yang spesifik dan istimewa dalam mengaplikasikan sistem jaminan sosial yang dibawa oleh Islam. Demikian itulah yang akan dijelaskan dalam sub kajian ini yang mengkhususkanya kajian terhadap apa yang terdapat dalm fikih ekonomi Umar tentang jaminan sosial, yang akan dibagi ke dalam tiga pokok kajian.
a.        Makna Jaminan Sosial, Urgensi dan Penanggung Jawabnya
Pertama, Makna Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’i)
Terminologi jaminan sosial berbeda dengan terminologi pengembalian distribusi pemasukan dengan beberapa keistimewaan yang dapat dijelaskan dalam beberpa point berikut ini:
Pertama, bahwa beberapa subtansi kata takaful menunjukkan makna “Pengharusan” dan “tanggung jawab”; karena kata takaful merupakan bentuk interaktif dari kata kafala. Dikatakan, takkafaltu bisy syai-i, artinya: aku mengharuskan diriku kepadanya, dan aku akan menghilangkan darinya keterlantaran dan kelenyapan. Dan kafil adalah orang yang menjamin manusia untuk menjadi keluarganya dan kewajiban manafkahinya. Juga berarti orang yang menangani urusan anak yatim yang diusulnya, dan anak yatim itu menjadi orang yang dijamin.[4]
Sedangkan kata ijtima’i adalah penisbatan kepada ijtima’ yang artinya, “masyarakat”. Maksudnya, perkumpulan sekelompok manusia yang dipadukan oleh suatu tujuan, dan yang dimaksudkan di sini adalah kelompok muslim.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan, bahwa jaminan sosial itu berarti, “tangung jawab penjaminan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat muslim terhadapa individu-individunya yang membutuhkan dengan cara menutupi kebutuhan mereka, dan berusaha merealisasikan kebutuhan mereka, memperhatian mereka, dan menghindarkan keburukan dari mereka.[5]
 “Orang Mukmin bagi orang Mukmin yang lain adalah seperti bangunan yang sebagainya menguatkan sebagian yang lain.”[6]
Dan sabdanya,
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai dan saling kasih sayang mereka adalah seperti tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengadu, maka seluruh anggota tubuh akan meresponnya berjaga dan demam.”[7]
atas dasar itu, maka terminologi jaminan sosial mengandung beberapa makna yang tidak dicakup terminologi pengembalian distribusi, yang antara makna terpenting tersebut adalah, 1). Keharusan, 2). Tanggung jawab kolektif dalam penjaminan, baik dari individu terhadap individu, dari jamah kepada individu, atau dari individu terhadap jamah, dan 3). Keluasaan cakupannya terhadap semua sisi penghidupan, pendidikan, dan pemeliharaanya.[8]
Kedua, terminologi takaful adalah terminologi orisinil yang disebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah; diantara ontoh adalah firman Allah Ta’ala,
كَرِيَّا زَ كَفَّلَهَا
“Dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya (Maryam).” (ali-Imran : 37)
Dan firman-Nya,
“(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Firaun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" (Thaahaa : 40)
Sedangkan di antara contoh yang dari A Sunnah adalah sabda Nabi Shallahu Alaihi Sallam,
“Aku dan pemerlihara anak yatim akan di dalam surga demikian!”, dan beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan jari tengah, seraya merenggangkan sedikit di antara keduanya.” (HR Bukhari no 53045)
Ketiga, Takaful merupakan prinsip baku dalam ekonomi Islam yang berdasarkan kepada akhidah dan kaidah akhlak. Sementara sistem konvesional dalam mengembalikan distribusi bersandarkan pada respon terhadap tekanan kemanusian dan perekonomian, seperti telah disebutkan penjelasannya baru saja.
Keempat, terminilogi pengambilan distribusi memberikan inspirasi bahwa proses tersebut datang setelah tahapan distribusi, sedangkan takaful bersama dan seiring dengan cara-cara distribusi yang lain.
Keempat, Takaful terlaksana dalam suatu suasana yang diliputi kecintaan dan kasih sayang; dimana orang yang kaya merasakan bahwa di dalam hartanya terdapat hak yang jelas bagi orang-orang yang membutuhkan, sehingga dia mengeluarka dengan hati yang tulus karena mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala. Dan orang yang membutuhkan merasa bahwa haknya di dalam harta orang-orang yang kaya akan datang kepadanya dengan suka rela. Sehingga hatinya bersih dari kedengkian dan kebencian terhadap saudara-saudaranya yang kaya. Sementara pengambilan distribusi dalam ekonomi konvesional terjadi pada umumnya- dalam suasana yang diliputi kedengkian dan kebencian uang saling berganti antara orang kaya dan orang-orang miskin. Sebab orang yang kaya lari dari pajak, karena dia menganggap tiada hak bagi seseorang pun di dalam hartanya kecuali dia , dan orang miskin merasa bahwa orang-orang kaya menguasai kekayaan dan menghalangi dia darinya. Sesungguhnya kemiskinan tidak dapat diterapi dengan cara pemindahan kepemilakan saja, namun juga melalui penubuhan solidaritas individu, niat yang tulus, dan rasa cinta. Sebab tidak ada satu pun yang mungkin dilaksanakan menurut cara yang benar dengan sekedar pengubahan kepemilikan barang, selama dalam jiwa masih terdapat kebencian, ekploitasi, dan perendahan.[9] Karena itu Islam menilai megungkit-ungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima sebagi dua hal yang membatalkan shadaqah, karena dampaknya dalam menghilangkan tujuan shadaqah, yaitu merealisasakan kecintaan dan kasih sayang. Allah Berfirman.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia”[10] (al-Baqarah : 264)
Kedua: Urgensi Jaminan Sosial
Takaful memiliki urgensi besar di dalam Islam. Di antara dalil yang paling jelas tentang hal tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Perintah takaful yang disejajarkan dengan mentauhidkan Allah Ta’ala Firman-Nya,
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr&
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. (an-Nisa’ : 36)
2.       Takaful disejajarkan dengan iman dan takwa dalam ada dan ketiadaan Allah berfirman dalam mensifati orang-orang yang bertakwa,
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
 Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyyat : 19)
Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tahuka kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mengajarkan memberi makan orang miskin.
Pada sisi lain, Al-Qur’an menilai mengabaikan melaksanakan hak orang-orang yang menunjukkan sebagai salah satu tanda terjelas dalam membohongkan agama. Allah berfirman,
M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim,  Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (al-Ma’un: 1-3)
3.         Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa melaksanakan kewajiban takaful merupakan sebab terpenting masuk bahwa surga, dan mengabaikan hak orang-orang yang membutuhkan merupakan sebab terbesar masuk neraka; diantaranya adalah firman Allah,
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ (#qä9$s% óOs9 à7tR šÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ óOs9ur à7tR ãNÏèôÜçR tûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÍÍÈ
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, (al-Muddaststir : 42-44)
Dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Aku dan pemelihara anak yatim akan di dalam surga demikian”, dan beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk tengah, seraya merenggangkan sedikit di antara keduanya.”
4.         Dalam fikih Umar Radhiyallahu Anhu, nampak jelas perhatian terhadap jaminan sosial dalam berbagai bidang, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Takaful merupakan wasiat terkahir Umar Radhiyallahu Anhu ketika menjelang wafatnya. Sebab terdapat riwayat bahwa sebelum beberapa hari dari musinah uamh menimpa Madinah, beliau berkata, “Jika Allah menyelamatkan aku, niscaya aku tinggalkan para janda penduduk Irak tidak akan membutuhkan seseorang setelahku selama-lamanya.” Maka tidaklah  datang kepadanya hari keempat sehingga beliau terkena musibah. Dan beliau mengatakan, “Aku berwasiat kepada Khalifah setelahku tentang kaum Muhajirn  pertama; agar dia mengerti dan aku berpesan kepadanya kaum Anshar, yaitu orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman kepada sebelum kedatangan kaum Muhajirin, agar dia menerima kebaikan mereka, dan memaafkan keburukan mereka; dan aku berpesan kepadanya agar berlaku baik kepada penduduk di berbagai kota, karena sesungguhnya mereka pembela Islam, pengumpul harta, dn penangkal lawan, dan agar tidak diambil dari mereka melainkan kelebihan harta mereka dari kerelaan mereka; dan aku berwasiat kepadanya agar berlaku baik kepada kaum badui, karena sesungguhnya mereka adalah asal bangsa Arab dan materi Islam, dan agar diambil dari kelebihan harta mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin diantara mereka; dan aku berpesan kepadanya tentang orang-orang yang dilindungi Allah dan Rasul-Nya (kafir dzimmi), agar dia menempati janji mereka, membela mereka dari serangan yang mengganggu mereka, dan tidak membebani mereka melainkan sesuai kemampuan mereka.”
b.       Dalam memeringatkan tenggelam dalam konsumsi dan lupa terhadap hak-hak orang-orang yang membutuhkan, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku melihat kamu akan menjadikan rizki yang dikarunikan Allah kepadamu ke dalam perut dan pada punggung kamu, dan kamu meninggalkan para janda, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin di antara kamu.”
c.        Dalam menjelaskan antusiasnya terhadap jaminan kebutuhan rakyat, Umar Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Sungguh aku sangat menginginkan agar aku tidak melihat kebutuhan melainkan aku menutupinya selama sebagian kita menjadi kecukupan bagi sebagian yang lain. Jika demikian itu tidak mampu dilakukan, maka kita akan sama dalam penghidupan kita hinga kita sama dalam kecukupan. Sesungguhnya aku, demi Allah, bukanlah raja, lalu aku memperhambakan kamu, namun aku hanyalah hamba Allah yang Dia berikan amanat kapadaku. Maka jika aku menerimanya dan aku kembalikan kepadamu, dan aku mengikuti kamu di rumah-rumah kamu hingga kamu kenyang di rumah-rumah dan kamu kecukupan, maka aku bahagia.”[11]



[1] Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab atau Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibnu Al-Khaththab pengarang Dr. Jabariah Al-Hritsi 1424 H/2003 M bab I Dasar-dasar Ekonomi, hal 283
[2] Lihat. DR. Muhammad Abdul Mun’im ‘Afar, Musykilah At-Takhalluf w Ithar at-Tamnmiyahwa At-Takmul Baina al-Islam wa Al-Fikr Iqtishadi Al-Mu’ashir, hal 36, Jamal Hasan Ahmad Isa As-Sarhinah, Musykilah Al-Bathalah wa Ilajuha, Dirasah Muqaranah Baina Al-Fiqha Al-Qanun hlm 88, Ali Khidir Bakhit, At Tamwil Ad-Dakhili At-Tanmiyah Al-Iqtishadiyah fi Al Islam, hlm, 39-40
[3] Lihat, Yususf Qardhawi, Daur Az Zakah fi Ilaj Al-Musykilat al-Iqtishadiyah, Kajian yang dipublikasikan dalam kitab, Qira’atfi Al-Iqthishad Al-Islami yang dipersiapkan oleh pusat kajian Ekonomi Islam di Univ. Abdul Aziz, hlm 151. Sedangkan haditsnya disebutkan ditakhrijnya
[4] Lisan Al-Arab, entri kafala
[5] Kaidah penting yang seyogyanya selalu diingat ketika membicarakan takaful, yaitu bahwa takaful adalah mencakup yang membutuhkan yang telah mengerahkan segala upayanya, namun tidak mampu merealisasikan kecukupannya, sehingga terdapat seorang pun yang beranggapan bahwa Islam memotivasi para penganggur yang malas bekerja. Lihat, makna kelemahan dari bekerja pada: Syaikh Muhammad Abu Zahrah, at Takaful Al-Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 62-63 dalam buku fikih Ekonomi Umar bin Khatab hal 285 terjemahan.
[6] HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, hadits no. 2314 dan Mulim dalam shahihnya, hadits no. 2585
[7] HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, hadits no. 6011 dan Mulim dalam shahihnya, hadits no. 2586
[8] Lihat rincian beberapa sisi yag tercakup dalam takaful tersebut, pada; Al-Bahi Al-Khauli, Ats-Tsaurah fi Zhili Al-Islam, hlm 237-249, dengan catatan bahwa kajian ini akan difokuskan pada sisi-sisi material dalam takaful ijtima’i
[9] Ali Izzat Begovich, Al Islam Baina Asy-Syarqiwa Al-Gharbi, terjemahan Muhammad Yusuf Addas, hlm 296/ diambil dalam buku Fikih Ekonomi Umar bin Khathab, hlm 287 terjemahan.
[10] Perhatian isyarat ayat ini tentang dampak niat yang buruk (riya’) dalam shadaqah, yang mengukuhkan urgensi pekerjaan hati  dalam takaful.
[11] Ath Thabari, cp.it (4:409)